Setiap manusia pasti memiliki pahlawan yang sangat berjasa bagi kehidupannya. Karena pahlawan tak hanya nama- nama yang tercantum dalam buku sejarah.Â
Iya. Nama pahlawan di buku- buku itu sudah jelas berjasa. Tak hanya untuk saudara, keluarga,tetangga. Mereka berjasa bagi nusa dan bangsanya. Semua orang yang mengaku sebagai orang Indonesia sangat menikmati hasil perjuangan berdarah para pahlawan nasional.
Aku juga sangat terinspirasi dengan para pahlawan itu. Mereka berjuang dengan mengorbankan harta, benda dan nyawa. Jika aku hanya mengorbankan sedikit waktu dan pikiran untuk negaraku, mengapa tak kulakukan?Â
Ya meski dari perjuanganku itu, terkadang tak dihargai. Menjadi Guru Tidak Tetap atau guru non PNS. Sudahlah, aku tak mau membahas tentang pekerjaanku itu.Â
Yang kuceritakan kali ini orang yang paling berjasa untukku. Pertama kali yang kusebut adalah ibuku. Siapapun yang lahir di dunia pasti setuju bahwa ibu adalah pahlawan yang terdekat dengan anak.Â
Kelembutan yang diwarnai ketegaran di balik tangis dan rasa lelahnya, benar- benar membuat seorang anak begitu mengagumi ibu. Sejak kecil, apapun yang dibutuhkan, selalu meminta pada ibu. Jarang sekali yang langsung meminta pada bapak.
Dengan pekerjaan yang tak pernah selesai, dari bangun tidur sampai tidur dan bangun lagi. Selalu dengan rutinitas yang hampir sama. Shalat, masak, menyiapkan pakaian anak dan suami, bersih- bersih rumah, mencuci, dan segudang pekerjaan tak lepas dari tangannya.
Aku sangat mengagumi ibu. Ibu begitu sabar mendidik kami, empat putrinya. Aku yakin ibu sangat lelah. Apalagi ketika anak ketiga terlahir kembar. Terbayang kerepotannya ketika merawat si bayi.Â
Bahkan seorang teman ibu bercerita bagaimana ketika mengandung anak ketiga yang ternyata kembar. Itupun kembar tiga. Aku termasuk si kembar itu. Meski ketika melahirkan, salah satu di antara si kembar itu meninggal dunia.
"Ibu dulu kesusahan ke kelas, mbak. Saking perutnya besar. Dulu ibu itu tahu kalau mengandung anak kembar. Tapi nggak tahu kalau kembar tiga..."
Melahirkan pun hanya di rumah. Tak dibawa ke bidan, apalagi rumah sakit. Setelah kelahiran si kembar, rumah ibu menjadi lautan manusia. Ya pingin lihat si kembar tiga.
"Paklik dari Kebumen sampai mengirimkan surat yang isinya juga ada potongan berita tentang kelahiran si kembar tiga..." cerita bulikku.Â
"Walah, sampai masuk koran ya, bulik?" aku bertanya dan merasa surprise juga. Aku sendiri yang kuliah di jurusan Sejarah sempat melacak surat kabar Kedaulatan Rakyat terbitan tahun 1982 untuk melihat berita tentang kelahiran si kembar. Aku melacak surat kabar itu ---di Perpustakaan Daerah di kawasan Jl Malioboro Yogyakarta--- bertepatan dengan tugas mata kuliah Kearsipan. Namun karena koleksi koran yang cukup banyak, aku cukup kesulitan juga menemukannya.
Dari cerita bulikku lagi, ibu sempat pingsan setelah melahirkan si kembar. Akibat terlalu banyak pendarahan. Untunglah ibu selamat. Bisa merawat kami hingga lulus kuliah.Â
Oh iya. Aku sampai lulus SMA belum pernah mengendarai motor. Begitu lulus SMA dan sudah memiliki SIM di bulan Maret 2001, aku langsung ke Jogja dengan memboncengkan kembaranku.Â
Akibatnya ibu tak bisa tidur nyenyak. Waktu itu belum ada alat komunikasi seperti HP. Paling untuk telepon harus ke wartel. Tapi karena aku tinggal di perumahan yang belum ada jaringan telepon maka aku tak bisa memberikan kabar kalau aku sudah sampai perumahan dengan selamat. Begitu aku dan kembaranku pulang di akhir pekan, kebahagiaan ibu benar- benar terasa.
Ah, ibu. Mengenang perjuanganmu dalam membesarkanku sungguh membuat aku bersyukur. Apa yang aku dan saudaraku raih tak lepas dari doa ibu. Alhamdulillah, sampai saat ini meski ibu pernah stroke, kini masih bisa melihat cucu- cucunya yang tingkah polahnya lumayan ketika berkunjung ke rumah beliau.
Ibu, semoga kau dilimpahi kesehatan dan usia yang penuh berkah. Selalu dalam lindunganNya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H