Saat ini aku bersama dua jagoan kecilku menunggu kepulangan sang ayah. Kedua jagoan kecilku bermain bola di dalam rumah. Pastinya rumah menjadi kapal pecah. Meski begitu, aku tak mempermasalahkannya. Toh itu dunia mereka. Biarkan mereka berdua mengeksplorasi dan mengekspresikan jiwa kekanakannya.
Hidup bersama tiga lelakiku membuatku sangat bersyukur. Luka masa lalu sirna oleh kehadiran mereka.
Ya... Dulu aku pernah patah hati. Tak sekadar sakit, tapi hancur. Sebelum mengenal calon suamiku saat ini, aku menjalin kasih dengan seorang lelaki, Bram. Tetangga tepatnya. Bram bisa dikatakan ganteng dari semua lelaki yang pernah kukenal.
Meski aku kuliah di kampus ternama di kotaku, tak membuatku berpaling dari Bram. Teman seangkatan yang cerdas dan mencoba mendekatiku, kutolak begitu saja.
Tak kupedulikan olok-olokan tetanggaku yang mempermasalahkan hubunganku dengan Bram. Apalagi Bram dikenal sebagai Don Juan. Mata dan telinga kututup rapat- rapat. Malah aku berpikir kalau aku akan memiliki prestise tinggi kalau bisa mengubah si Don Juan menjadi lebih baik. Tambah lagi, aku bisa memenangkan idola para perempuan yang mengelilinginya. Bukankah itu sangat keren?
Melihat hubunganku dengan Bram tentu sangat ditentang orangtuaku. Aku tahu, orangtua pasti memperhatikan bobot, bibit dan bebet calon mantunya. Aku terus bertahan dengan hubunganku dengan Bram. Aku yakin bahwa restu akan kami dapatkan lambat laun.
Berbeda dengan orangtuaku, orangtua Bram sangat welcome denganku. Ya siapa sih yang tak mau punya mantu sepertiku yang selalu menjadi bintang selama sekolah sampai kuliahku.Â
**
Di tahun ketujuh aku dipaksa menyerah oleh keadaan. Restu dari orangtuaku bisa kami kantongi. Namun kenyataan pahit terjadi.Â
Waktu itu orangtuaku menginginkan Bram segera melamarku dan menikahiku secara sederhana. Oh iya. Restu dari orangtuaku muncul atas pertimbangan pakdhe dan bulikku. Mereka yang berjasa untuk kelangsungan hubunganku dengan Bram. Bahagia tak terkira saat restu keluar dari mulut orangtuaku.
Kemudian ditentukanlah tanggal lamaran. Menjelang hari H, tiba- tiba bapakku mendekatiku ketika aku duduk di teras rumah.
"Num, bapak mau bicara sebentar..."
"Nggih, pak. Monggo..."
Aku mengira bapak akan membicarakan rencana lamaran Sabtu besok. Ternyata bapak memberikan kabar buruk.
"Num, sepertinya rencana Sabtu besok tak bisa terjadi..."
Bapak tampak hati- hati ketika bicara denganku. Aku menjadi kaget mendengar ucapan bapak. Rasanya baru kemarin bapak bilang kalau memberi restu kepada kami. Mengapa tiba- tiba berbalik arah.
"Kenapa, pak...?"
Aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran sekaligus kesal pada bapak.
"Begini, nduk. Bapak mendengar dari bulik Wati kalau Bram akan melamar gadis desa sebelah Sabtu besok. Gadis itu hamil..."
Aku sangat shock. Aku menangis sejadi- jadinya. Aku merasa perjuanganku berakhir sia- sia. Di saat aku shock itu secara tiba- tiba aku berniat mengakhiri hidupku. Kebetulan di sampingku tergeletak pisau silet. Kugoreskan pisau silet itu ke nadi pergelangan tangan kiriku.
Gegerlah rumahku saat itu.
**
Rasa hancurku saat itu, terbayar saat ini. Orangtuaku benar. Allah tidak tidur. Pasti Dia memberikan pelajaran bagiku. Ada kebahagiaan setelah deritaku. Dia hadirkan lelaki yang bertanggungjawab dan selalu melindungiku dan dua jagoan kecilku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H