Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pengakuan Hati

9 Juli 2019   01:10 Diperbarui: 9 Juli 2019   02:31 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kapan akan kau ceritakan tentang lelaki itu padaku, Put?"

Sebuah pesan masuk dari ayah Husna setelah sekian bulan kublokir. Semenjak ayah Husna menikah, sengaja nomor HPnya kublokir. Baru kemarin nomornya bebas wira-wiri masuk ke kontakku. Hampir tiap jam pesannya masuk. Meski aku jarang membalasnya, kecuali kalau dia menanyakan Husna.

Jawabanku masih sama, aku menunggu waktu yang tepat. Karena aku masih perlu menyiapkan dan membesarkan hatiku dan Husna. Kami harus siap kehilangan kasih sayang ayah Husna jika ternyata hati ayah Husna telah tercuri istri dan anaknya.

Ah...aku telah begitu jahat. Mengapa aku harus merasa hati ayah Husna tercuri oleh mereka? Bukankah itu wajar? Tresna jalaran saka kulina. Toh denganku juga tak mungkin direstui keluarganya.

*

Setelah beberapa hari kutunda aku merasa telah siap terbuka pada ayah Husna. Aku akan menceritakan tentang siapa lelaki yang bersamaku tempo hari ---yang mengaku sebagai kekasih istrinya---. Kurasa lelaki itu membuat ayah Husna kesal padaku. Aku tak berani mengatakan kalau ayah Husna cemburu. Dia hanya tak suka. Titik. Begitu terangnya.

*

Aku dan ayah Husna saat ini berencana untuk bicara empat mata. Kami sekarang tengah mengantri untuk berfoto di Teras Kaca, di sekitar kecamatan Panggang. Masih satu daerah dengan tempat tinggalku. 

Sementara Husna bersama keluarga ayah Husna. Ayah Husna sengaja tak ikut acara keluarganya. 

"Acara itu belum terlalu penting. Lebih penting selesaikan teka-teki tentang lelaki itu..."

Seperti biasa, aku masih merasa lucu dengan rasa penasaran ayah Husna. Dan seperti biasa pula dia mengatakan kalau tak ada yang lucu dari sikapnya. Dia tak suka lelaki itu dekat denganku.

Sambil menunggu jeda waktu foto ---sebenarnya aku tak mau karena menunggu hampir tiga jam hanya untuk berfoto di spot-spot foto di sana--- pelan-pelan kuceritakan hal yang sesungguhnya kuketahui tentang lelaki misterius bagi ayah Husna.

"Mas, kurasa sekarang sudah waktunya aku cerita. Aku tak mungkin menyimpannya terus..."

Aku bicara dengan lelaki ---yang pernah begitu berarti untukku--- tanpa melihat wajahnya. Kumemandang lepas ke arah spot-spot foto di tepi tebing yang menghadap ke laut selatan itu. Hampir semua spot dibuat oleh pengelolanya berada di 30 meter dpl. Cukup membuat deg- degan melihat beberapa pengunjung yang berfoto. Ayah Husna tertawa kecil ketika aku begitu histeris melihat pengunjung berfoto di ayunan yang juga menghadap  ke laut lepas.

*

"Mas, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Kuharap ini bisa menjawab rasa penasaranmu. Juga mengurangi bebanku..."

Ayah Husna terus menyimak hal yang kukatakan ---sambil menikmati air kelapa yang dibelinya--- di bawah rindangnya pohon cemara. Para pengunjung yang ingin berfoto di spot foto memang berteduh di bawah pohon itu. 

"Mas, lelaki itu menemuiku dan terus menerus menghubungiku. Dia menagih permintaannya padaku..."

"Dia minta sesuatu ke kamu?"

Kulihat ayah Husna mulai kesal. Dia mengatakan kalau aku tak boleh didekatinya, aku harus memblokirnya dan masih banyak lagi.

Aku tersenyum. Kukuatkan hatiku untuk melanjutkan ceritaku. 

"Mas, jujurlah dulu. Anak yang mas asuh adalah anak mas kan?"

Ayah Husna semakin kesal dengan pertanyaanku. 

"Dulu sudah kubilang ke kamu kan, Put? Kamu masih nggak percaya?"

Ayah Husna menggelengkan kepala demi mendengar pertanyaanku. Dia beranjak dari bangku kursi di bawah pohon cemara, lalu menuju ke salah satu spot foto gratis. Aku menyusulnya. Kuhampiri ayah putriku itu.

"Mas... Mas masih ingin aku cerita atau nggak? Kalau nggak, kita lebih baik pulang saja..." 

"Kita tetap di sini, Put. Cerita saja. Tapi sekali lagi jangan tanyakan tentang anak itu. Jawabanku sama, dia bukan anakku..."

"Bukan anakmu tapi pasti sudah dekat denganmu kan, mas? Tresna jalaran saka kulina. Akui saja. Hati mas pasti juga seperti itu. Tadinya tak suka jadi jatuh cinta..."

Aku mencoba mencairkan kekesalan ayah Husna. Kugoda dia dengan pertanyaan itu. 

"Alaahhh..ujung-ujungnya kamu cemburu begitu, Put. Kelihatan banget...hahaa..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun