**
Untuk ibu Husna, Putri, yang selalu cantik. Maaf aku mengganggumu dan mungkin akan selalu mengganggu dan merepotkanmu. Ya... untuk mendampingi Husna, meski hanya ketika dia di sekolah.Â
Keputusanku untuk menyekolahkan Husna di tempat kerjamu bisa dibilang nekat. Tapi sungguh, Putri, aku tak kuasa ketika Husna selalu bertanya tentang ibunya. Dia ingin seperti teman-teman sekolah di TKnya yang sering diantar jemput ibu dan ayahnya.Â
Kau tahu tidak, Put, ada rasa sesal di hatiku karena aku tak bisa perjuangkan keutuhan keluarga kecil kita. Aku berharap suatu saat aku bisa kembali bersamamu.Â
Put, didik Husna, anak kita ya. Dia akan menjadi perempuan hebat dengan adanya kamu di sisinya. Aku ingin dia dekat denganmu. Kuceritakan padanya ketika wisuda TKnya dulu, kalau Husna bisa sekolah di tempat kerjamu. Belum kuceritakan alasanku.Â
Setelah kudaftarkan Husna dan bapak kepala sekolahmu bercerita kalau nanti Husna dibimbing bu Putri, saat itu kuberpikir untuk mulai mengenalkan sosok ibunya. Kukatakan pada Husna ---dalam perjalanan pulang--- kalau nama bu gurunya mirip nama ibunya.Â
"Bolehkah Husna menganggap Bu guru sebagai ibuku, yah?"Â
Matanya berbinar, Put, ketika dia bertanya sekaligus berharap keinginannya terwujud.Â
"Husna, bu guru itu ibu bagi siapa saja yang diajarnya. Jadi kamu bisa menganggap bu Putri sebagai ibumu. Selama di sekolah..."
Dia selalu bersemangat sekolah, Put. Demi bertemu dan belajar dengan "ibu impiannya". Maafkan aku belum sanggup mengatakan kebenarannya.Â
**