Aku menyebutnya ayah anakku. Aku tak pantas menyebutnya sebagai suami. Meski selama enam tahun berpisah, surat cerai tak kuterima.Â
Bagiku dia benar-benar masa lalu yang seharusnya tak kuingat jika saja tak hadir Husna di antara kami. Apalagi saat ini Husna ---yang dipisahkan dariku--- disekolahkan di tempat kerjaku.Â
Bagai mimpi di siang bolong ketika kulihat ayah anakku ke sekolah untuk mendaftarkan putri kami di sini. Aku belum berani menemui anak cantikku yang diajak serta.Â
Sehari kemudian Husna mulai belajar bersamaku. Semangatku semakin terpompa karenanya. Anak itu tak tahu bahwa bu guru yang mengajarnya adalah ibunya. Belum waktunya dia mengerti dan memahami masalah orangtuanya yang berpisah.Â
Hampir setiap pulang sekolah, aku menahan tangis ketika melepas gadis kecilku dan pulang bersama ayahnya. Kukuatkan hatiku untuk membersamai anak cantikku selama bersekolah di tempat kerjaku.Â
**
"Bu guru, ayah titip ini... "
Husna menyerahkan amplop putih dan meletakkannya di mejaku. Aku ragu untuk mengambilnya.Â
"Nanti bu guru baca ya. Kata ayah, bu guru tak membalas kalau diWA..."
Tak ada pilihan lain untuk menerima amplop putih itu. Aku tak ingin Husna kecewa.Â
**
Untuk ibu Husna, Putri, yang selalu cantik. Maaf aku mengganggumu dan mungkin akan selalu mengganggu dan merepotkanmu. Ya... untuk mendampingi Husna, meski hanya ketika dia di sekolah.Â
Keputusanku untuk menyekolahkan Husna di tempat kerjamu bisa dibilang nekat. Tapi sungguh, Putri, aku tak kuasa ketika Husna selalu bertanya tentang ibunya. Dia ingin seperti teman-teman sekolah di TKnya yang sering diantar jemput ibu dan ayahnya.Â
Kau tahu tidak, Put, ada rasa sesal di hatiku karena aku tak bisa perjuangkan keutuhan keluarga kecil kita. Aku berharap suatu saat aku bisa kembali bersamamu.Â
Put, didik Husna, anak kita ya. Dia akan menjadi perempuan hebat dengan adanya kamu di sisinya. Aku ingin dia dekat denganmu. Kuceritakan padanya ketika wisuda TKnya dulu, kalau Husna bisa sekolah di tempat kerjamu. Belum kuceritakan alasanku.Â
Setelah kudaftarkan Husna dan bapak kepala sekolahmu bercerita kalau nanti Husna dibimbing bu Putri, saat itu kuberpikir untuk mulai mengenalkan sosok ibunya. Kukatakan pada Husna ---dalam perjalanan pulang--- kalau nama bu gurunya mirip nama ibunya.Â
"Bolehkah Husna menganggap Bu guru sebagai ibuku, yah?"Â
Matanya berbinar, Put, ketika dia bertanya sekaligus berharap keinginannya terwujud.Â
"Husna, bu guru itu ibu bagi siapa saja yang diajarnya. Jadi kamu bisa menganggap bu Putri sebagai ibumu. Selama di sekolah..."
Dia selalu bersemangat sekolah, Put. Demi bertemu dan belajar dengan "ibu impiannya". Maafkan aku belum sanggup mengatakan kebenarannya.Â
**
Tanpa kau minta pun aku tahu yang akan kulakukan kepada Husna, batinku. Kulipat dan kumasukkan surat itu ke dalam amplop. Tempat sampahlah yang pantas menjadi wadah surat itu, seperti dia mencampakkanku, sendirian, tanpanya dan putriku bertahun-tahun.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H