Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Simbok

12 Juni 2019   05:37 Diperbarui: 12 Juni 2019   06:08 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat bapak sakit kemarin, aku teringat simbok, wanita yang melahirkanku, isteri bapak yang selalu sabar menghadapi sikap temperamen bapak. Pernah suatu saat, waktu itu aku masih SMP kelas III, mengusulkan kepada simbok untuk bercerai saja dengan bapak. 

"Ndhuk, kalau sudah memutuskan untuk menikah, harus berpegang pada komitmen. Bukan sedikit-sedikit minta cerai. Kalau semua pasangan seperti itu, alangkah banyaknya anak yang tak merasakan kasih sayang orangtua. "

Waktu itu akupun protes, aku sama sekali tak merasakan kasih sayang bapak. Bapak hanya asyik dengan dunianya, setelah pulang kerja dari kantor, tak pernah membantu simbok yang kelelahan merawat empat anak. 

Aku sebagai anak sulung tahu bahwa simbok menderita. Namun tak diungkapkan. Hanya sesekali kumendengar isak tangis simbok di penghujung malam. 

Kalau aku mendengar seperti itu rasa benci kepada bapak semakin menjadi. Lagi-lagi simbok mengingatkan aku bahwa bapak tak seburuk yang ada dalam pikiranku. 

Kini, simbok sudah tenang di sana. Di tengah rasa benci kepada bapak, aku hanya mengingat pesan simbok untuk merawat bapak bersama ketiga adikku saat bapak menua. 

Di balik sikap buruk bapak, memang aku akhirnya bisa membantu adik-adik menyelesaikan sekolah sampai SMA. Untuk kuliah, mereka tak tertarik. Mereka tak mau merepotkan aku. Begitu terang mereka. 

**

"Rayyan, jaga anak bapak baik-baik. Dia akan setia, menemani suka dukamu, seperti almarhum simboknya dulu."

Kudengar sekilas obrolan bapak dengan Rayyan, laki-laki yang berani meyakinkan bapak untuk dinikahinya. Ya, pernikahanku dengan mas Rayyan tinggal beberapa hari ke depan. 

Semalam, bapak terisak di sudut kamar, memandangi foto kusam simbok di masa mudanya. Sekilas mirip denganku. Mungkin karena itulah aku begitu dilindungi dari laki-laki iseng dengan sikap kasar bapak. 

Namun yang kutemui dan kulihat, bapak menangis karena akan melepaskanku untuk menikah. Ya mungkin saat itu bapak teringat beban berat yang dipikulnya untuk membesarkan kami. Tanpa simbok. Tanpa berpikir untuk menikah lagi. Padahal banyak perempuan, janda maupun perawan, yang bisa dipilihnya untuk dijadikan istri baru. 

Saat itulah kusadar bahwa bapak memang laki-laki yang luar biasa. Hanya dia tak bisa menunjukkan kasih sayang sebagaimana mestinya. Kesetiaan bapak kepada simbok membuatku sangat bersyukur. 

Kuberanikan diri masuk kamar bapak. Bapak masih menangis dan begitu kaget ketika menyadari aku sudah berada di kamarnya. Buru-buru bapak menghapus linangan air matanya. Aku bantu menyeka air mata lelaki yang kusebut bapak itu. Kedua tangan bapak merengkuh tubuhku. 

"Jadilah perempuan yang baik seperti simbok ya, ndhuk. Pasti suamimu nanti akan menjaga hati selamanya. "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun