Saat bapak sakit kemarin, aku teringat simbok, wanita yang melahirkanku, isteri bapak yang selalu sabar menghadapi sikap temperamen bapak. Pernah suatu saat, waktu itu aku masih SMP kelas III, mengusulkan kepada simbok untuk bercerai saja dengan bapak.Â
"Ndhuk, kalau sudah memutuskan untuk menikah, harus berpegang pada komitmen. Bukan sedikit-sedikit minta cerai. Kalau semua pasangan seperti itu, alangkah banyaknya anak yang tak merasakan kasih sayang orangtua. "
Waktu itu akupun protes, aku sama sekali tak merasakan kasih sayang bapak. Bapak hanya asyik dengan dunianya, setelah pulang kerja dari kantor, tak pernah membantu simbok yang kelelahan merawat empat anak.Â
Aku sebagai anak sulung tahu bahwa simbok menderita. Namun tak diungkapkan. Hanya sesekali kumendengar isak tangis simbok di penghujung malam.Â
Kalau aku mendengar seperti itu rasa benci kepada bapak semakin menjadi. Lagi-lagi simbok mengingatkan aku bahwa bapak tak seburuk yang ada dalam pikiranku.Â
Kini, simbok sudah tenang di sana. Di tengah rasa benci kepada bapak, aku hanya mengingat pesan simbok untuk merawat bapak bersama ketiga adikku saat bapak menua.Â
Di balik sikap buruk bapak, memang aku akhirnya bisa membantu adik-adik menyelesaikan sekolah sampai SMA. Untuk kuliah, mereka tak tertarik. Mereka tak mau merepotkan aku. Begitu terang mereka.Â
**
"Rayyan, jaga anak bapak baik-baik. Dia akan setia, menemani suka dukamu, seperti almarhum simboknya dulu."
Kudengar sekilas obrolan bapak dengan Rayyan, laki-laki yang berani meyakinkan bapak untuk dinikahinya. Ya, pernikahanku dengan mas Rayyan tinggal beberapa hari ke depan.Â
Semalam, bapak terisak di sudut kamar, memandangi foto kusam simbok di masa mudanya. Sekilas mirip denganku. Mungkin karena itulah aku begitu dilindungi dari laki-laki iseng dengan sikap kasar bapak.Â