Setelah kudipertemukan dengan mas Syafri olehNya, hatiku semakin mantap untuk menyambutnya sebagai calon imamku. Pinangan keluarganya terjawab oleh pertemuan kami kembali.Â
Aku menjadi sedikit lupa dengan sahabatku yang juga mencintai mas Syafri, Asih. Setelah kumenyadari itu, aku kembali menjadi resah. Sebelum pinangan keluarga mas Syafri, aku sudah menjauhinya. Ya demi Asih. Aku tak mau jika Asih kembali patah hati dan ingin mengakhiri hidupnya lagi.Â
Untuk apa aku mati-matian membantunya bangkit jika akhirnya aku menghempaskan dari ketinggian. Aku benar-benar resah.Â
"Dik, kelahiran, jodoh, kematian semua menjadi rahasia Allah. Bukankah kamu juga beristiharah untuk jawaban pinanganku? "
Mas Syafri mencoba untuk menghalau kebimbanganku. Bagaimanapun kebahagian sudah di depan mata, namun kerisauan untuk mewujudkan kebahagiaan kembali mengisi hatiku.Â
"Aku merasa bersalah, mas. Asih pasti sangat sedih saat ini... "
"Dia perempuan yang sudah kau kuatkan, dik. InsyaAllah dia akan menerima. Apalagi sejak awal hatiku telah memilihmu"
**
Aku tengah berada di beranda kos. Mengerjakan skripsi dan mengolah data-data penelitianku. Meja penuh dengan kertas, buku, cemilan dan air putih.Â
Di tengah-tengah aktivitasku itu, di halaman kos terdengar suara motor berhenti. Kulihat dengan seksama. Kuperhatikan siapa gerangan yang datang.Â
Kukerutkan dahiku. Kumerasa mengenalnya tapi aku lupa siapa dia. Gadis anggun, berjilbab berkaca mata, wajah ovalnya tak asing di mataku. Dan benar, gadis itu adalah Asih.Â
Aku takjub melihat gadis itu. Pangling tepatnya. Selama kukenal dia, rambut selalu terlihat. Kini telah ditutupi jilbab. Kalaupun berjilbab hanya dilakukan ketika ada kegiatan di masjid kampus.Â
Kusambut Asih. Kupeluk dia. Kami tersenyum bahagia.Â
*
"Selamat ya, Ra. Kamu sudah dipinang sama mas Syafri. Semoga lancar sampai hari H dan sakinah mawaddah warahmah. Menjadi jodoh dunia akhirat ".
Aku terkesima dengan ucapannya. Tak kudengar rasa marah atau putus asa dari suaranya. Wajahnya pun cerah. Kutatap wajah teduh itu.Â
"Ra, kamu sahabat terbaikku. Kamu bahagia, aku juga bahagia". Digenggamnya tanganku untuk meyakinkan bahwa tak ada luka di hatinya. Meyakinkan bahwa kutak perlu merasa takut dan bersalah.Â
"Tapi, Sih..."
"Stttt... sudah, Ra. Percayalah, aku tak mungkin merampas kebahagiaan kalian. Aku percaya jika jodoh sudah diatur Sang Kuasa. Jadi kalau orang yang kukagumi bahagia bersama pilihannya, aku tak boleh bersedih..."
Air mata mengalir di kedua pipiku. Melihat ketegaran sahabatku itu.Â
"Kau sahabatku, Ra. Kau selalu mendukungku di saat kujatuh. Kini aku ganti yang dukung kebahagiaanmu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H