"Aku nggak bisa tenang kalau kamu seperti ini, sayang. Please, jangan marah...", ucapnya putus asa.Â
Kuhela nafas panjang. Kutahan air mata yang menghias di pelupuk mataku.Â
"Siapa yang marah, mas? Aku apa mas Widi? Salah apa sih aku, mas? Aku lemburan dan komunikasi dengan teman-teman, mas marah. Aku tak masak, mas marah. Apa aku pembantumu, mas?", tanyaku. Air mataku berjatuhan juga akhirnya.Â
Mas Widi meraih tubuhku. Dia memelukku.Â
"Aku berusaha menjadi istri yang baik, mas. Tapi mas sendiri cuek. Malah mas lebih memperhatikan teman mas.."
Kuluapkan semua uneg-uneg yang ada di hati dan pikiranku.Â
"Kalau mas Widi sudah menilai aku sebagai istri yang tak baik, mas Widi antarkan aku ke rumah bapak ibu saja, mas..."
***
Saat ini mas Widi sedang menata taman depan rumah. Segala macam bunga ditanam dalam pot dan ditata rapi.Â
"Wis, ketimbang salah dan kamu ngambeg lagi, dik. Aku merawat dan merhatiin bunga di taman saja. Lebih enak dan asri dilihat. Kalau merhatiin bunga desa dan bunga kampus bisa bikin aku nggak dapat jatah makan...", jawabnya ketika kutanya mengapa dia sering membeli bunga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H