Menikah dengan seorang Widi yang merupakan dosenku ketika kuliah dulu tak pernah terlintas di pikiranku. Dia seorang dosen muda yang belum lama menjadi dosen di kampusku. Kukira pesan rahasia darinya ---yang tak pernah kuungkapkan kepada sahabat-sahabatku--- hanya sekadar keisengannya.Â
Akibatnya aku tak menanggapinya. Apalagi sebagai dosen pasti dia memiliki kolega yang lebih smart, cantik. Banyak bu dosen muda juga. Jadi begitulah. Aku lebih baik mikir kuliah saja. Namun setelah aku bersikap masa bodoh, dia seret ngasih nilai ke beberapa mata kuliah yang diampunya.Â
Meski begitu dia mengirimkan pesan lagi yang menyatakan akan menungguku. Ah... lagi-lagi aku tak mempercayainya. Apalagi aku baru saja bertemu teman masa kecilku yang menjadi kekasihku. Aku bertemu dengannya ketika KKN.Â
Sayang sekali, nasib kisah kasihku tak seindah impian. Kami punya rencana tapi Allah berkehendak lain. Singkat cerita pak Widi langsung menemui kedua orangtuaku. Dia termasuk pintar pedekate dengan kedua orang tercintaku itu. Akhirnya dia mempersuntingku juga.Â
Banyak teman yang terkejut dan tak percaya. Tapi kenyataan itu memang ada. "Cinta dalam diam", begitu terangnya ketika temannya bertanya lewat WAG.Â
***
Kulihat Mas Widi senyam-senyum melihat gawainya. Rupanya tak hanya anak-anak kecil, orang seumur dengannya pun keranjingan gawai. Itu baru kuketahui setelah aku dinikahinya. Bayanganku yang namanya dosen itu jauh dari gawai, banyak baca buku literasi. Tak begitu dengan suamiku itu. Maksudku sepulang kerja sampai pukul 20.00 sampai tengah malam gawai tak lepas dari tangannya. Baca bukunya setelah subuh.Â
Aku hanya di sampingnya sambil menonton televisi. Kebetulan waktu itu tayangan di salah satu stasiun televisi tentang konyolnya orang-orang yang keranjingan gawai. Ada yang gawainya tercebur di toilet dan si pemilik gawai mau mengambil gawainya tapi tangannya tersangkut di toilet. Baru setelah petugas pemadam kebakaran membantu tangannya bisa lolos dari toilet dengan kondisi lecet-lecet.Â
Masih ada beberapa kejadian konyol lain seperti perempuan kecebur di kolam gara-gara tak melihat jalan. Melihat tayangan itu, aku menyindir suamiku.Â
"Tuh, mas. Kalau kebanyakan pegang HP bisa kayak gitu..."
"Hmmm... aku pegang HP kan nggak di jalan to, sayang..."
Aku hanya menghela nafas panjang. Tapi ya udah, lebih baik aku nyetrika baju aja. Aku bangkit menuju meja setrika. Tapi suamiku menahanku.Â
"Eh... sini, Sayang. Lihat deh... lihat nih temen-temenku kulihat kok tambah cantik ya..."
Aku melihat gambar pada layar gawai suamiku.Â
"Terus maksud mas gimana? Mas Widi nyesel ya sampai nggak nikah sama mereka?", tanyaku.Â
"Ya nggak gimana-gimana sih..."
"Kalau mas pingin lihat aku cantik ya ajak perawatan ke salon aja..", ucapku lebih ketus.Â
Dia baru menyadari ucapannya yang sudah menyinggungku. Aku lebih banyak di rumah selepas mengajar di sebuah SMP. Ya masak, nyuci, nyetrika, nyapu, ngepel. Bikin kesel saja dibandingkan dengan perempuan yang banyak menghabiskan waktu dan uang demi terlihat cantik.Â
Melihatku cemberut, dia segera memelukku. "Maaf ya, sayang. Kamu tetap cantik alami kok..", ucapnya seraya mencium keningku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI