"Alhamdulillah, pak. Tinggal ujian saja. Nyari jadwal yang pas. Masih koordinasi dengan Dosen Penguji, Sekretaris dan Pembimbing..."
"Oh... sudah dapat nama-namanya?"
Aku mengangguk.Â
"Ah... berarti aku tak dapat jatah ikut nguji skripsimu. Padahal aku pingin banget...", kata pak Widi sambil tertawa.Â
Pak Widi sebenarnya menjadi salah satu dosen yang terdaftar sebagai dosen pengujiku. Namun aku meminta Pak Rifki yang biasa memberikan daftar nama dosen penguji skripsi untuk mengganti dengan dosen lain. Akhirnya nama pak Widi dicoret, digantikan dosen lainnya, Bu Rahma.Â
Makanan dan minuman pesananku sudah siap. Aku minta izin makan duluan. Hmmm. Rasanya nggak enak juga sama mahasiswa-mahasiswa lainnya. Aku berharap ada teman yang mau bergabung di mejaku.Â
"Emmm... dik, gimana dengan tawaranku dulu...?"
Aku mencoba untuk mengingat, apa aku pernah ditawari sesuatu sama pak Widi. Tak kuingat satupun tawaran yang dimaksud pak Widi.Â
"Maksudku, selepas kamu lulus, bersediakah kamu menjadi istriku?"
Aku menyadari maksud pak Widi. Dulu dia pernah menembakku namun aku tolak. Aku ingin menjadi mahasiswa yang berhasil bukan karena bayang-bayang Pak Widi.Â
Kini aku bingung sendiri. Bingung mau menerima atau tidak. Padahal harusnya aku sudah bisa menjawab dengan pasti. Aku sudah menerima laki-laki lain di hatiku, Tio. Tio, sahabat kecilku, yang berasal dari kampung sebelah tapi rajin TPA di masjid kampungku.Â