Jelang berakhirnya KKN, kami berniat untuk refreshing. Masih ada perdebatan untuk lokasi refreshing. Sebenarnya aku protes dengan rencana ini. Aku menilai acara ini terlalu cepat dilaksanakan.Â
Masih ada hal yang lebih penting, yakni membuat laporan kegiatan kelompok. Kalau laporan individu sih terserah. Yang jelas aku tinggal ngedit sedikit terus ngeprint. Tapi yang laporan kelompok tentu butuh kerjasama semua anggota tanpa kecuali.Â
"Sudahlah. Kamu manut saja, sayang. Nanti aku bantu kamu deh ngerjainnya. Kan kita sering ketemu di kampus dibanding temen lainnya..", Wahyudi mulai bersuara lagi.Â
Aku tak yakin dia bisa bantu aku. Selama kuliah saja tugas selalu dikerjakan mepet waktu. Malah kadang terlambat pengumpulannya.Â
"Ehem... Aku siap membantu kok. Tinggal sebut namaku. Oke!", ucap Tio dengan kesal.Â
"Gimanapun kita satu tim harus kompak. Nggak bisa hanya membebankan sama satu atau dua orang. Nanti kita tinggal koordinasi lewat WAG aja", lanjut Tio.Â
Karena sudah menjadi kesepakatan, mau tak mau aku hanya mengikuti keputusan saja. Latihan menghargai pendapat orang banyak.Â
Selanjutnya kami mendiskusikan lokasi yang menjadi tujuan refreshing. Soal waktu tadi sudah diputuskan Sabtu ba'da Asar. Akhirnya setelah berunding dengan santai alias ngobrol kami memutuskan akan refreshing di Tebing Breksi dan Candi Ijo.Â
***
Tebing Breksi.Â
Tebing Breksi merupakan salah satu cagar budaya yang diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X pada bulan Mei 2015. Lokasinya di Dusun Groyokan, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Awalnya tebing ini adalah lokasi tambang batu breksi yang menjadi sumber pendapatan warga sekitar. Kemudian lokasi pertambangan ini bertransformasi menjadi sebuah objek wisata jogja yang banyak disukai oleh wisatawan.
Kami begitu menikmati refreshing di lokasi ini. Meski sebelumnya aku merasa ngeri menempuh perjalanan ke sana dengan berkendara sendiri. Aku tak begitu tahu medan menuju ke sana.Â
"Kenapa, Ra? Kok kamu berhenti?", tanya Fira. Fira sih orang sekitar lokasi. Jadi sudah biasa kalau menempuh jalan yang menanjak.Â
Teman lain pun jadi ikut berhenti.Â
"Sudah, motormu yang bawa aku saja. Kamu membonceng Tio sana...", Ali menawarkan diri untuk menolongku. Tapi kumerasa tak enak hati.Â
"Sudahlah. Tak apa...", Ali meyakinkanku.Â
***
Nyatanya meski aku membonceng Tio, rasanya aku takut melihat kanan kiri jalan. Kupejamkan mataku. Kalau kutahu medan ke sana menyeramkan, aku pasti tak ikut.Â
Selama melewati jalan menanjak itu aku pasrah. Tanganku menjadi dingin saking merasa takut. Tio meraih tanganku.Â
"Kamu pegangan aku juga gapapa, Ra. Sini..."
Aku merasa canggung, tapi mau bagaimana lagi. Terpaksa kedua tanganku melingkar di pinggang Tio. Aku jadi sadar. Ini pasti sudah direncanakan sama Tio.Â
"Kamu sengaja ngadain acara ke sini kan, Yo? Ngaku aja!", tanyaku sewot.Â
Tio tertawa.Â
"Kalau iya kenapa? Kan kita seneng-seneng. Terutama aku sama kamu...", ucapnya cuek.Â
Aku berharap bisa lekas sampai dan bisa menumpahkan kekesalanku. Ternyata tanjakan jalan untuk ke Tebing Breksi sangatlah panjang. Jadi terasa lama untuk sampai ke tempat itu.
Kalau mau ke sana, bisa dengan mengikuti arah menuju ke Candi Prambanan terlebih dahulu. Selanjutnya, setelah sampai di pertigaan pasar Prambanan, bisa langsung belok kanan untuk mengambil arah yang menuju ke Piyungan. Nah dari pasar menuju ke Tebing Breksi ini hanya sekitar 3 km.Â
***
Di Tebing Breksi.Â
Aku bergabung dengan teman lainnya setelah protes sama Tio. Sayangnya dia tak merespon protesanku.Â
Kami menuju sisa-sisa batuan breksi yang tidak ditambang. Di sebelah timur ada batuan yang kulihat sekilas seperti kapal. Teman-teman semangat naik lewat anak tangga yang sempit.Â
Keringat dingin muncul ketika aku mencoba ikut naik. Namun aku menyerah. Aku turun sendirian. Kulihat ukiran naga di sisi kiri anak tangga.  Kuabadikan keindahannya  lewat HP. Lalu aku tunggu teman-teman di dekat kolam di sekitarnya.Â
"Kasihan. Sendirian aja, Ra. Sini aku temenin. Biar yang lain menikmati indahnya panorama alam di atas..."
Aku cuek mendengar suara menyebalkan itu. Aku hanya mengutak-atik HPku untuk menghilangkan rasa kesal. Tiba-tiba Tio menarik tanganku dan mengajak ke bagian tebing yang sering kulihat menjadi favorit untuk foto-foto. Ada gambar atau ukiran wayang yang menakjubkan.Â
"Mbaknya senyum, mbak. Trus masnya yang romantis ya. Siap. Saya kasih aba-aba ya. 1,2,3..."
"Udah, Yo. Sudah banyak fotonya. Aku capek.. ",sungutku.
"Eits... sebentar. Kita ke photo spot aja ya. Di sana...". Tio menunjukkan arahnya. Aku tak yakin mau ke sana.Â
"Kamu bakal nyesel kalau nggak ke sana. Percaya deh..."
Lagi-lagi aku terpaksa manut. Dia menggandeng tanganku. Aku protes dan mencoba melepaskan genggaman tangannya.Â
"Sudah saatnya temen-temen tahu hubungan kita, Ra. Apa nggak capek musti bersandiwara terus? Kalau aku sendiri capek. Mana tahan..."
"Tapi..."
"Nggak ada tapi-tapian..."
Di photo spot, aku takjub melihat sekelilingnya. Pemandangan Yogyakarta dan sekitarnya terlihat dari sana. Benar kata Tio, aku bakal menyesal kalau tak sampai di spot itu.Â
Tio memintaku memilih photo spot yang menurutku bagus dan kalau bisa romantis gitu katanya. Kupilih beberapa spot. Di miniatur rumah kutub, kubik yang di atasnya ada kursi dan pintu langit.Â
Aku hanya mesem aja. Mungkin memang sudah waktunya teman-teman tahu hubungan kami. Biar kami nggak uring-uringan lagi.Â
Teman-teman akhirnya menyusul ke photo spot. Mereka terkejut melihat kami berdua berpose di beberapa photo spot.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H