Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cemburu

24 April 2019   03:00 Diperbarui: 9 November 2019   23:56 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku dan teman-teman cewek segera menyiapkan minuman hangat pagi itu. Untuk menghangatkan tubuh kami akibat hawa dingin setelah seharian kemarin hujan deras. Seperti biasa, kopi lebih banyak mendominasi minuman favorit teman-teman. Hanya aku yang menghindari minuman itu. 

Teman- teman sering pamer tentang nikmat dan harumnya kopi itu. Untuk urusan bau kopi sih aku tau, pasti harum. Tapi soal rasa, aku harus membuang rasa kangen dengan minuman itu. Aku tak mau kalau terserang batu ginjal lagi. Jadi aku lebih sering minum air tanpa rasa, yang penting hangat. 

Tapi pagi itu, aku ingin minum jahe hangat. Sesekali tak apa. Lagian itu menyehatkan juga.  Jahe kubakar dulu dan kubersihkan, barulah kugeprek dan kukasih gula jawa. Terakhir dituangi air panas. Hmmm...  nikmat. Jadi aku tak begitu cemburu karena tak menikmati kopi seperti teman-temanku. 

Sebagai teman minum kami hanya menggoreng sukun yang diberikan warga sekitar sekretariat. Sukun dikuliti, dicuci, diberi bumbu bawang dan garam. Didiamkan sebentar, kemudian digoreng. 

Percakapan santai dan penuh canda mewarnai pagi. Aku lebih banyak diam. Wahyudi yang biasanya lebay pun lebih senang menikmati makanan ala orang desa itu. Tio berusaha menguasai diri lagi, setelah menatapku lekat-lekat di meja dapur tadi. 

***

Sore hari.

Pak Widi melakukan visitasi ke sekretariat KKN setelah mendengar Tio kecelakaan kecil semalam. Kalau misalnya didengar baik-baik, komunikasi antara kami ---mahasiswa KKN--- dengan pak Widi seperti obrolan kakak beradik. 

Aku menduga setelah obrolan hangat kami sore ini, akan ada permintaan foto bareng dengan pak Widi lagi. 

"Kamu nggak ikut antri?", Tio mengirimkan pesan pribadinya. 

Kebetulan dia duduk di depanku. Aku hanya memberikan kode dengan menggelengkan kepala. Kulihat dia bernafas lega. Aku hanya tersenyum. Kenapa aku jadi kelu sendiri? Kenapa dia tak mengeluarkan kata-kata yang bisa memancing rasa kesal? 

Aku menatap layar HPku. Kulihat ada gambar hati di bawah pesan pertama Tio. Tiba-tiba saja Fira menyeret aku secara paksa. 

"Apaan sih, Fir? Lepasin tanganku..."

Fira tak peduli.

"Sesekali kamu ikut foto berdua sama pak Widi. Masa kamu nggak pernah..."

"Kan nggak...", belum selesai aku ngomong, pak Widi mendekati kami. 

***

Malamnya. 

Kami menyiapkan perangkat untuk praktek mengajar esok hari. Kami sudah agendakan itu jauh-jauh hari. Namun aku sudah curi start dulu. Jadi sekarang aku nggak kelabakan seperti yang lain. 

"Hei, kamu nggak bikin perangkat pembelajaran, Ra?", ucap Tio dengan ketus. Hmmm. Dia sudah kembali ke tabiatnya. 

Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku hanya bermain game aja. Mahasiswa rajin itu akan merasakan bahagia sepertiku. Ketika yang lain ribut dan mumet bikin perangkat pembelajaran, aku bisa leha-leha. 

"Tadinya bilang nggak mau foto sama pak Widi, eh... ternyata bohong...", ucapnya pelan tapi begitu jelas terdengar di telingaku. 

Aku kesal dengan ucapan itu. Kudekati Tio. Kukepalkan tanganku di wajahnya. 

"Munafik..."

Kubalas ucapannya tadi dengan kesal. 

"Munafik apaan? Omonganmu itu bikin aku dongkol...", ucapku pelan. Meski tak begitu keras, tapi nyatanya teman-teman yang sibuk di depan laptop jadi saling berpandangan. 

"Udah, Yo. Emangnya kamu dah selesai ngerjain tugasmu...?", tanya Opik. 

"Aku tak perlu bikin, Pik. Sudah punya asisten ini...", ucap Tio dengan cueknya. Laptop diserahkan padaku. 

"Tolong aku dibikinkan. Kulihat kamu nganggur gitu. Aku mau istirahat dulu. Badanku tak karuan..."

***

Tiba-tiba tangan mengelus kepalaku. 

"Bangun, Ra. Kamu ketiduran di sini?", aku terbangun dan kaget, Tio berada di sampingku. Rupanya aku tertidur di ruang tengah sekretariat. Kuucek kedua mataku. Kurasa pedih. Samar-samar kulihat jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul 02.15. 

"Kamu pindah kamar sana. Nanti kamu masuk angin..."

Aku bangkit dan mau menuju kamar. Namun kurasakan badanku lemas. Aku hampir tersungkur. 

"Ya Allah,  Ra. Kamu nggak kenapa-kenapa?", tanyanya. 

Aku hanya menggelengkan kepala. Aku berharap badanku sudah baikan nanti setelah kulanjutkan tidur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun