Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penyimpangan Sosial Tak Hanya Kesalahan Satu Pihak

10 April 2019   15:36 Diperbarui: 11 April 2019   16:54 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup bermasyarakat selalu diwarnai dengan perilaku baik yang sesuai maupun menyimpang dari norma yang berlaku. Penyimpangan sosial bukan hal yang baru tapi butuh solusi yang tepat agar perilaku menyimpang bisa lebih terarah ke perilaku positif. Tak hanya saling menyalahkan atau membebankan hanya pada satu pihak. 

Kekhawatiran sebagai orangtua

Berita-berita tentang kriminal dari sejumlah anak bangsa marak mewarnai beranda sosmed. Sungguh miris rasanya. Terlebih lagi saya telah memiliki tiga buah hati. Apabila Indonesia selalu diwarnai berita seperti tadi, rasanya sebagai ibu saya jadi was was juga. Padahal tak mungkin selamanya orang tua selalu mengikuti kemanapun anak pergi. Tak mungkin saya menjadi helicopter mom. 

Saya ingin sekali anak-anak tumbuh dan berkembang dengan baik. Secara fisik, mental dan spiritual. Agar kelak mereka bisa matang dan dewasa dalam bertingkah laku dan mengeluarkan kata-kata. 

Anak diusahakan dididik agar selalu berpegang pada norma. Ketika anak masuk ke lembaga pendidikan maka saya berarti memasrahkan dan menitipkan anak ke guru agar dididik. Ketika ada kesalahan yang diperbuat atau dimarahi guru, tak serta merta saya marah kepada gurunya. 

Kekhawatiran sebagai pendidik

Di samping sebagai ibu atau orangtua saya juga berperan sebagai pendidik. Sebagai pendidik terus terang saya sangat prihatin, sedih, marah, kecewa dengan perilaku anak remaja zaman sekarang. Mendidik anak bangsa adalah tugas dan kewajiban guru. Namun saya--dan guru lain--sering terkendala dengan berbagai tugas tambahan yang menyita waktu dan aturan HAM anak. 

Berita yang paling membuat nurani saya sedih dan menangis adalah kasus pengeroyokan terhadap siswi SMP oleh sekelompok siswi SMA. Dalam pengeroyokan tersebut sampai melakukan tindakan keji, tak manusiawi dan menyebabkan trauma bagi korban pengeroyokan. 

Astaghfirullah. Tak terbayang bagaimana derita anak itu dan kedua orangtua. Hanya karena permasalahan sepele sampai melakukan tindakan kriminal atau menyimpang. Yang lebih bikin marah si pelaku tak merasa bersalah. 

Guru Disalahkan

Di saat rasa prihatin dan perasaan lain yang tak bisa terungkap dengan kata-kata, ada sebuah berita yang kurang mengenakkan bagi guru. Guru kembali disalahkan jika anak atau generasi muda melakukan tindakan kekerasan, kriminal.

Rasanya kurang terima juga apabila semua yang dilakukan siswa dikatakan sebagai kesalahan guru. Guru berusaha mendidik anak-anak yang bersekolah layaknya anak sendiri. Guru sadar bahwa mereka adalah anak didik di sekolah. Guru diamanahi oleh orangtua untuk mendidik mereka agar kelak mereka bisa menjadi orang yang berhasil. Mereka adalah calon pemimpin bangsa yang potensinya luar biasa. 

Jika guru kemudian kadang marah kepada para siswa bukan berarti membencinya. Guru sangat mencintai mereka dan ingin membantu mereka dan negara untuk menyiapkan generasi bangsa yang kokoh, kuat, berkarakter. Ya.. Guru layaknya memperlakukan siswa seperti orangtua di rumah. Kadang marah ketika anak melakukan kesalahan, tapi selalu sayang dan ingin hal yang terbaik bagi anak. 

Guru tak berani berlaku kasar yang bisa menyakiti fisik dan mental siswa. Kenapa? Mereka berpikir ribuan kali untuk melakukan kekerasan kepada siswa karena khawatir jika berlaku seperti itu maka bisa dilaporkan ke polisi dan masuk bui. 

Ada yang mengatakan guru saat ini menjadi obyek pelengkap penderita di dunia pendidikan. Mungkin ada benarnya. Guru selalu mengalami dilema dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Guru menghukum siswa, dan siswa laporan kepada orangtua. Kemudian orang tua tak terima. Laporlah orang tua ke polisi. Atau datanglah orangtua ke sekolah atau rumah guru. Lalu marah-marah bahkan dianiaya. 

Kalau menghadapi seperti ini, bagaimana guru bisa bekerja dan membantu orangtua untuk memperteguh karakter baik anak? Karakter anak sudah muncul dan terbentuk di keluarga. Karena keluargalah madrasah pertama bagi anak. 

Karakter anak yang didapatkan di rumah akan lebih diarahkan oleh guru karena guru bukan hanya pengajar tetapi juga pendidik. Guru memberikan arahan dan membenahi tingkah laku, perkataan dan karakter lainnya. Jika guru yang membantu orangtua dalam mendidik saja dilaporkan polisi dan masuk bui karenanya lalu bagaimana guru harus bersikap jika ada siswa yang badung tak karuan? 

Guru mencubit tak boleh, apalagi sampai melukai siswa. Bisa dihadapkan dengan polisi. Tak seperti dulu. Penghapus kayu, kapur, penggaris kayu melayang ke arah siswa pun orangtua tak ikut campur. 

Perilaku anak remaja tak hanya jadi tanggung jawab guru. Orangtua yang paling utama mendidik anak. Apalagi anak lebih banyak waktu di luar sekolah. Artinya lebih banyak waktu di rumah. 

Jika kita mencari-cari kesalahan guru memang sangat gampang. Tapi lihatlah bagaimana tayangan televisi, gadget dan lingkungan serta pergaulan anak. 

Stasiun televisi jarang yang menayangkan acara atau tontonan berkualitas. Sinetron yang menyajikan kekerasan, perselingkuhan, balas dendam, tidak hormat pada orangtua dan guru mewarnai layar kaca. Acara entertainment juga mengetengahkan gaya hidup artis yang glamour, gonta-ganti pacar atau pasangan dan sebagainya. Padahal jam tayang juga sering tak pas. Mirisnya itu menjadi contoh buruk bagi anak atau remaja. Jiwa labil mereka belum pantas menyaksikan tayangan tadi. 

Gadget pun menjadikan anak atau remaja lebih asyik dan mementingkan diri sendiri. Tak mau diganggu. Tak mau bersosial. Ada yang menyakiti terus balas dendam. Hal ini didukung dengan pergaulan yang tidak sehat bagi anak. Orangtua sibuk, anak bergaul dengan siapa juga tak dipedulikan. 

Sungguh, jika generasi bangsa berlaku amoral maka hampir dipastikan banyak pihak yang bersalah. Ya orang tua, guru, pemerintah, lingkungan, tayangan televisi dan masih banyak lagi. Tak perlu menyalahkan satu pihak. 

Semua bertanggung jawab untuk menyiapkan calon pemimpin negara yang handal. Pemerintah, sekolah, guru, orangtua, masyarakat. Mari bersama-sama saling bahu-membahu, bekerja sama untuk mendidik anak bangsa agar mereka bisa bertanggung jawab dan berkarakter yang kuat di kemudian hari. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun