Berbagai kejadian yang berkembang saat ini seperti mengarah ke sebuah perilaku yang sedikit menyimpang yaitu Stockholm Syndrom atau Sindrom Stockholm.
Sindrom Stockholm adalah respon psikologis dimana dalam kasus-kasus tertentu para sandera penculikan menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada penyanderanya tanpa memperdulikan bahaya atau risiko yang telah dialami oleh sandera itu. Istilah Sindrom Stockholm pertama kali dicetuskan oleh kriminolog dan psikiater Nils Bejerot, yang membantu polisi saat perampokan.
Sindrom ini dinamai berdasarkan kejadian di Stockholm tahun 1973. Pada tahun tersebut terjadilah perampokan Sveriges Kredit bank. Perampok bank tersebut, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson, memiliki senjata dan menyandera karyawan bank. Mereka disandera dari 23 Agustus sampai 28 Agustus pada tahun 1973.Â
Ketika korban dapat dibebaskan, mereka malah memeluk dan mencium para perampok yang telah menyandera mereka. Secara emosional mereka menjadi menyayangi penyandera, bahkan membela mereka. Bahkan uniknya ada salah seorang sandera, Kristin, jatuh cinta dengan salah satu perampok dan membatalkan pertunangan dengan pacarnya setelah dibebaskan.Â
Bila kita membaca uniknya sindrom ini, ternyata banyak sekali kisahnya. Bahkan banyak juga film yang diproduksi dengan mengambil tema ini, seperti film Die Hard, The World is Not Enough, Buffalo 66, Saw, dan sebagainya.
Unik juga ya. Ada kisah seperti itu. Tapi bisa jadi sindrom yang semula diperuntukkan bagi penyandera dan sandera penculikan, saat ini berkembang lebih luas arti atau maknanya. Istilah sindrom Stockholm makin meluas, tak hanya mencakup kasus penculikan saja tetapi juga kasus kekerasan dan abuse.
Di saat manusia didholimi, hidup tidak nyaman, menderita akan tetapi malah merasa punya ikatan emosional yang lekat pada si pendholim.Â
Seseorang yang mengalami sindrom Stockholm bisa diamati gejala-gejalanya. Diawali dengan tumbuh dan berkembangnya perasaan positif terhadap penculik, penyandera, atau pelaku kekerasan. Penderita sindrom Stockholm memiliki perasaan positif yang muncul atau disampaikan oleh pelaku terhadap korban.
Mungkin ini bisa dikatakan "tresna" jalaran saka kulina, tetapi membabi buta. Yang namanya perasaan cinta biasanya tercipta ketika melihat sisi positif dari orang lain. Tetapi sindrom ini berkebalikan dan penderita tidak merasa kalau jalan pikiran dan langkahnya itu salah.
Bahkan penderita sindrom ini di saat seseorang menganggap kebaikan pada penculik, penyandera atau pelaku kekerasan, di saat itu pula dia menganggap negatif terhadap keluarga, kerabat, pihak berwenang, atau masyarakat yang berusaha untuk membebaskan atau menyelamatkan korban dari pelaku. Dia tidak mau berpartisipasi maupun terlibat dalam usaha pembebasan atau penyelamatan diri dari pelaku. Dia malah menunjukkan dukungan dan persetujuan terhadap kata-kata, tindakan, dan nilai-nilai yang dipercaya pelaku. Bisa saja korban malah secara sukarela membantu pelaku, meski berbuat kejahatan.Â
Fenomena dizalimi tetapi tidak merasa didzolimi, mungkin tepatnya seperti itulah. Dunia menjadi terbalik. Segala sesuatu yang buruk menjadi indah, tetapi berkebalikan segala sesuatu yang baik malah dinilai buruk.Â
Berbahayakah sindrom seperti itu?Â
Dalam ilmu kesehatan, penderita sindrom ini perlu direhabilitasi. Perlu banyak waktu untuk penyembuhannya. Semua tergantung pada seberapa kuat hubungan yang dibangun dengan pelaku. Selain itu perlu juga dikaji apakah korban masih berkomunikasi dengan pelaku.Â
Seperti kebanyakan kasus trauma serius, pendekatan suportif dan psikoterapi terhadap penderita sindrom Stockholm harus dijalankan. Perlu juga diperhatikan apabila ada komplikasi seperti depresi agar segera ditangani dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H