"Wis to, ndhuk. Tenangna pikiranmu. Wis lumrah yen bojomu menek SUTET...", (sudahlah, ndhuk. Tenangkan pikiranmu. Sudah lumrah kalau suamimu memanjat SUTET), Ibu mertuaku mencoba menenangkan aku.Â
Aku merasa heran dengan ibu mertua yang begitu tenang ketika anaknya berpamitan untuk memperbaiki SUTET. Aku mendengar kata SUTET saja sudah stress minta ampun.
Aku mau memprotes nasehat ibu mertuaku, tapi aku tahan. Mulutku mengatup kuat untuk tak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Iki mendhingan, ndhuk. Ora pas musim rendheng. Yen musim rendheng luwih akeh bahayane. Kowe akeh ndedonga ya, ndhuk. Muga-muga bojomu tansah slamet. Aja dikira ibu ra kuatir. Ibu ya kuatir...", (ini mendingan, ndhuk. Tidak musim hujan. Kalau musim hujan lebih banyak bahayanya. Kamu banyak berdoa ya, nduk. Semoga suamimu selalu selamat. Jangan dikira ibu nggak khawatir. Ibu khawatir juga...), Ku lihat mata ibu mertuaku berkaca-kaca, suaranya bergetar.
"Kowe kudu siap yen bojomu nindakke tugase. Kuwi wis pilihane bojomu...", (kamu harus siap kalau suamimu melaksanakan tugasnya. Itu sudah pilihan suamimu...), Aku hanya mengangguk perlahan.
"Wis ndang shalat, njur istirahat. Kesehatanmu kudu dijaga. Yen kowe lara, malah dadi pikirane bojomu...", (sudah, Â kamu segera shalat, Â terus istirahat. Kesehatanmu harus dijaga. Kalau kamu sakit bisa jadi nambah pikiran suamimu).Â
Ibu mertuaku segera menuju kamar untuk beristirahat. Ya...malam ini sudah menunjukkan pukul 22.12. Pasti beliau sayah. Capek.Â
Beliau adalah ibu yang hebat. Mampu membesarkan dua puteranya sendirian. Suaminya sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, sebelum aku mengenal Satria, suamiku.
***
Di kamar, aku membaca Alquran untuk menenangkan hatiku. Ya..aku belum lama menikah. Baru dua bulan. Itupun prosesnya tak begitu lama.
Satria adalah saudara sepupu Indri, temanku. Indri sering kali ingin mengenalkanku dengannya. Tapi tak kutanggapi. Aku berpikir pasti sangat berat menjadi bagian hidup Satria, yang bekerja di PLN. Bisa saja dia mendapat tugas memperbaiki jaringan listrik SUTET.Â
Seringkali aku mendengar berita di televisi, ada yang tersengat listrik ketika ada petugas yang sedang memperbaiki SUTET.
Ah... entahlah. Pada akhirnya aku ditemui seorang pria. Dia berperawakan tinggi besar, bersih, santun dan berwibawa. Dia adalah Satria. Melihatnya secara langsung akhirnya membuatku membukakan pintu hati untuknya.
Lantunan ayat demi ayat yang ku baca membuat hatiku sedikit tenang. Sementara waktu semakin merambat. Mendekati tengah malam. Kabar dari Satria pun tak ku dapatkan. Ku pandangi HPku. Aku ingin menelponnya, tapi pasti tak dibawanya dalam kondisi perbaikan SUTET. Hatiku resah. Tak terasa buliran air mata jatuh di pipiku.
"Aku harus membiasakan diri untuk kuat...", Batinku.
Ku buka HPku. Ku pilih aplikasi WA. Aku menuliskan pesan untuk Satria. Entah pesan ke berapa yang sudah ku kirimkan. Dia pamit sejak pagi. Tanpa mengabariku. Ku tunggu dan ku tunggu balasan darinya. Sampai akhirnya aku terlelap.
***
" Assalamualaikum, sayang. Sudah pagi... Bangun yuk. Kita shalat subuh bareng...", Ku dengar suara berbisik di telingaku. Aku membuka mata. Ku lihat suamiku sudah berada di sampingku. Segera ku peluk dia. Air mata tak bisa ku bendung lagi.
"Kok malah menangis...", Ucapnya sambil menghapus air mataku. Dia tersenyum.
"Kamu jahat. Kamu nggak ngabari aku...", Aku sesenggukan. Dia memelukku dan mencium keningku.
"Maaf ya, sayang. Aku tak sempat pegang HP. Begitu pegang HP ternyata low bat. Tadi di perjalanan pulang, aku menuntun motor. Kehabisan bensin. Pas mau pulang nggak ngecek. Jadi sampai rumah dinihari..."
Tak ada kata yang terucap. Hatiku bersyukur. Ku rasakan dekapan hangatnya meyakinkan ku untuk selalu siap dan kuat atas pekerjaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H