Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjodohan (4)

19 Desember 2018   13:06 Diperbarui: 24 Juli 2020   08:24 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah 1

Kisah 2

Kisah 3

Bagian 4

Akhirnya aku tinggal di kampung. Nyaman juga sebenarnya. Sepertinya aku tak begitu asing dengan kampung Fahri. Sudut-sudut kampung masih terlihat seperti dulu meski sekarang terlihat lebih maju.

Ketika aku masih SD kelas 2 pernah diajak ke kampung ini. Mengunjungi teman-teman ayah di kampung. Salah satu teman ayahku memiliki putra yang saat itu kelas 5. Dia menyayangi aku. Aku pun menyayanginya. Dia bilang aku jadi pengganti adiknya yang sudah meninggal. Waktu itu aku tersenyum karena memiliki sosok kakak. Hari-hari di kampung dulu aku habiskan bersamanya. Kira-kira seminggu aku di sana. Tapi bodohnya aku tak tahu namanya. Aku hanya memanggil dia dengan julukan mas.

Ketika kembali ke kota, aku selalu menanyakan kepada ayah tentang mas tadi. Ayahku kebingungan juga. Begitu banyak teman ayah yang memiliki anak laki-laki di kampung. Pas ayah tanya ciri-cirinya pun ayah tak ingat juga. Akibatnya aku mulai melupakan mas.


***

"Dik Sinta, mandi dulu sana. Tadi bak mandi sudah aku isi penuh...", Ucap Fahri.


Tiap pagi pasti Fahri menimba air sumur untuk bak mandi, gentong air, dan ember cucian. Setelah itu sarapan dan mengecek sawah. Pulang dari sawah mencuci pakaian kotor. Lalu aku? Aku tak mau melakukan itu semua. Aku terlalu sayang dengan tangan-tangan mulusku.

Aku tak peduli pandangan mertuaku. Aku tak peduli dinilai jelek. Tujuanku memang ingin dibenci dan lepas dari keluarga mereka.


***

Sudah setahun lebih usia pernikahan kami. Fahri masih terus beraktivitas rutin seperti dulu.

Suatu hari. Mungkin saking capeknya dia minta bantuanku untuk menjemur pakaian. Aku marah besar.

"Kamu kira aku apamu?", Tantangku.

"Kamu istriku, dik Sinta. Kamu permaisuriku. Makanya aku minta tolong untuk menjemur pakaian ini ya. Aku mau membantu bapak ibu di sawah...", Ucapnya tanpa dosa.

"Istri katamu? Kamu kira aku mau jadi istrimu? Aku sudah muak hidup di sini. Aku ingin bebas...!!!"

Fahri terdiam dan meninggalkanku sendirian di rumah. Mulai detik ini aku akan minta cerai. Titik.

Aku mencari tas ransel besar dan ku masukkan semua pakaian ke dalam tas. Aku ingin pergi dari rumah ini. Rumah yang bikin sumpek.

Setelah itu aku menuju kamar mandi di belakang rumah. Tak ku sangka baru mau ke sana aku melihat ular ijo. Aku ketakutan. Apalagi ular itu mendekati dan mematuk kakiku. Aku merasa lemas dan tak bisa mengingat apapun.


***

Di Rumah Sakit.


"Alhamdulillaah. Kamu sudah sadar, dik. Maafkan aku ya. Aku tak menjagamu...", Ucap Fahri kepadaku.
Ku lihat air mata di pelupuk matanya.

"Seharusnya aku tetap di rumah. Memastikan semua aman baru aku ke sawah...". Fahri begitu menyesal dengan apa yang terjadi padaku.


"Untung racun ular belum menyebar ke seluruh tubuhmu, dik..."

Tak berapa lama seorang perawat membawakan makan dan obat untuk aku minum.

"Kamu makan dan minum obat dulu ya, dik. Biar lekas pulih..."

"Aku ingin pulang. Aku tak mau di tempat ini. Aku tak mau tinggal di rumahmu lagi...", Ucapku tak terkontrol.

Fahri terdiam. Entah apa yang dipikirkannya.

"Sekarang makan dulu. Terus minum obat. Sesudah kamu sembuh, aku antar kamu pulang...", Ucap Fahri terbata-bata.


Mendengar ucapannya, aku tersenyum lebar dan semangat untuk segera sembuh. Aku duduk dibantu Fahri. Makan juga disuapi dia. Hahaha... Puas aku ngerjain dia setahun ini.

***

Sepulang dari Rumah Sakit aku masih harus kontrol. Memastikan tubuhku benar-benar pulih. Kurasakan sikap Fahri berubah. Dia tak mau lagi tidur di kamar. Dia lebih suka tidur di ruang tamu.


"Selama kamu di sini, kamu masih jadi tanggung jawabku, dik...", Katanya ketika aku bersikeras tak mau minum obat dari Rumah Sakit setelah kontrol.

Rasanya waktu berjalan begitu lambat. Aku menantikan waktu kepulanganku ke rumah orangtuaku. Aku tak suka minum obat tapi Fahri begitu pintar untuk ku bohongi. Dia tak mau kecolongan aku tak meminum obat dari Rumah Sakit.

Setelah memastikan obat masuk ke perutku, baru dia meninggalkan aku. Sisa obat dia simpan. Aku tak boleh menyentuhnya. Dia sudah hafal dengan kelakuanku yang membuang obat ketika sakit.

"Kalau kamu sampai menyentuh atau membuang obat ini, aku tak akan mengantarmu pulang..."

Mau tak mau aku menurutinya. Aku tak pegang uang sepeser pun. Ayahku tetap tak memberikan uang tabunganku. Kalau aku tak menuruti Fahri, aku selamanya akan hidup di sini.

***Bersambung***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun