Akhir pekan akhirnya teman kampungan ayah ke rumah. Bersama beberapa orang dari kampung mereka juga. Dari yang ku dengar mereka jadi saksi lamaran. Ku lihat pemuda yang akan dijodohkan denganku. Orangnya tinggi, bersih, sopan sekali. Tapi entah mengapa aku tak suka. Aku hanya mematung di ruang tamu ketika menerima keluarga teman ayah itu.
Mereka tampak akrab sekali. Saling bercanda, mengenang masa kecil mereka ketika di kampung. Pengalaman mandi di sungai, memandikan kerbau di sungai, menghalau burung pemangsa padi, terpeleset ke sawah, dan masih banyak lagi. Sesekali mereka tertawa terbahak. Terasa sumbang sekali di telingaku.
Pemuda itu...iya... Fahri mendekati aku sebelum acara lamaran dimulai.
"Assalamualaikum, Sinta. Bagaimana kabarmu?", Tanyanya pelan. Senyum tak lepas dari wajahnya. Aku membuang muka.
Entahlah... Mungkin aku pernah bertemu dengannya dulu ketika aku main di kampung halaman ayah. Waktu itu aku ke sana masih SD kelas 2. Ketika libur panjang. Tak ku jawab pertanyaan darinya. Kami saling diam. Ku dengar helaan nafas darinya.
Tak lama kemudian acara lamaran dilaksanakan. Tak ada penyematan cincin dalam lamaran itu. Aku semakin tak mengerti. Orang pelit seperti itu kok berani melamar aku. Ayah juga. Kok beliau ikhlas kalau anaknya dilamar tanpa ada cincin untuk lamaran.
Aku benci sekali dengan semua ini. Aku ingin lari dari rumah. Tapi aku ingat, aku tak punya apa- apa. Tabunganku masih dibekukan ayah ibuku.
***Bersambung***
pict: catatandakwah.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H