Bagian 2
Ayah ibuku pasti kelabakan mencariku. Hahaha... Ya aku pergi dari rumah itu. Rumah yang kuanggap neraka. Biar mereka tahu rasa. Apa jadinya mereka kalau tak menerima kabar dariku?Â
Pasti ibuku menangis tersedu-sedu beberapa hari ini. Seperti dulu yang pernah terjadi. Aku hanya minta ganti motor saja harus pergi dulu. Akhirnya mereka mengalah. Mereka membelikan motor juga. Aku merasa menang. Hahaha...
Kini aku berfoya-foya dengan uang transferan. Tak kuliah. Tak pulang. Tak terasa uang di dompetku menipis. Aku segera ke mesin ATM. Aku mau ambil uang sepuasku. Tapi aku shock. ATM ku diblokir. Aku ke bank, ternyata buku tabunganku dibekukan. Ahhhh... Sial! Pasti ulah ayah ibuku.
***
Di rumah.
"Kamu kira hati kami akan luluh melihatmu seperti ini?" Hardik ayahku.
Ayah sangat murka padaku. Tak pernah ku lihat beliau seperti ini. Aku jadi agak takut juga. Tak berani menatap wajahnya. Kelembutan yang selama ini aku rasakan tak ada lagi.
"Ayah tak mau tahu alasanmu. Akhir pekan ini kamu akan lamaran. Nanti ayah akan menelepon teman ayah di kampung. Biar mereka segera ke sini melamar kamu untuk Fahri..." Ucap ayah.Â
Aku hanya pasrah mendengar ucapannya. Lidahku kelu mendengar hal yang diungkapkan ayah. Aku ingin protes tapi ku urungkan niatan itu. Dalam hatiku aku mengutuk rencana gila orangtuaku dan teman kampungannya. Aku akan memberi pelajaran kepada mereka semua. Tak ada yang bisa menghalangi rencanaku itu.
***
Akhir pekan akhirnya teman kampungan ayah ke rumah. Bersama beberapa orang dari kampung mereka juga. Dari yang ku dengar mereka jadi saksi lamaran. Ku lihat pemuda yang akan dijodohkan denganku. Orangnya tinggi, bersih, sopan sekali. Tapi entah mengapa aku tak suka. Aku hanya mematung di ruang tamu ketika menerima keluarga teman ayah itu.
Mereka tampak akrab sekali. Saling bercanda, mengenang masa kecil mereka ketika di kampung. Pengalaman mandi di sungai, memandikan kerbau di sungai, menghalau burung pemangsa padi, terpeleset ke sawah, dan masih banyak lagi. Sesekali mereka tertawa terbahak. Terasa sumbang sekali di telingaku.
Pemuda itu...iya... Fahri mendekati aku sebelum acara lamaran dimulai.
"Assalamualaikum, Sinta. Bagaimana kabarmu?", Tanyanya pelan. Senyum tak lepas dari wajahnya. Aku membuang muka.
Entahlah... Mungkin aku pernah bertemu dengannya dulu ketika aku main di kampung halaman ayah. Waktu itu aku ke sana masih SD kelas 2. Ketika libur panjang. Tak ku jawab pertanyaan darinya. Kami saling diam. Ku dengar helaan nafas darinya.
Tak lama kemudian acara lamaran dilaksanakan. Tak ada penyematan cincin dalam lamaran itu. Aku semakin tak mengerti. Orang pelit seperti itu kok berani melamar aku. Ayah juga. Kok beliau ikhlas kalau anaknya dilamar tanpa ada cincin untuk lamaran.
Aku benci sekali dengan semua ini. Aku ingin lari dari rumah. Tapi aku ingat, aku tak punya apa- apa. Tabunganku masih dibekukan ayah ibuku.
***Bersambung***
pict: catatandakwah.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H