Mohon tunggu...
Adhya Singgih
Adhya Singgih Mohon Tunggu... -

Penggiat anti korupsi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Bermuka Dua, Mesra Dengan China, Selingkuh dengan Amerika

8 November 2015   06:16 Diperbarui: 8 November 2015   06:16 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika Jokowi berkunjung ke Amerika Serikat (AS), dia membuat pernyataan mengejutkan banyak pihak. Pernyataan itu adalah Indonesia siap untuk bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP). Mengejutkan karena TPP sendiri bertujuan untuk menyaingi hegemoni kekuatan ekonomi Cina di Asia Pasifik. Sedangkan Indonesia tampak sedang menikmati masa bulan madu kerjasama ekonomi dengan Cina.

TPP sendiri beranggotakan 12 negara dikomandoi oleh AS. Prinsip kerja sama TPP sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) alias globalisasi perdagangan. Artinya, tidak setiap anggota TPP harus membuka diri terhadap ekspor barang dan jasa antar anggota. Bukan hanya barang, setiap anggota TPP juga harus membuka diri terhadap investasi antar anggota. Pendek kata, tidak ada lagi proteksi terhadap barang, jasa dan investasi antar anggota TPP.

Seperti kita ketahui bulan madu antara Indonesia dan Cina membuat kita tampak sangat mengistimewakan produk-produk dari Cina. Seperti, pemilihan pemenang kereta api cepat Jakarta-Bandung, pemilihan turbin PLTU dalam proyek 35.000 megawatt. Dimenangkannya berbagai produk Cina dalam berbagai macam proyek terlihat sudah tidak lagi menggunakan logika dan etika berbisnis.

Tidak logis karena sudah menjadi rahasia umum produk dari Cina berkualitas rendah, Contohnya, proyek 10.000 ribu megawatt jaman pemerintahan SBY gagal karena menggunakan turbin PLTU dari Cina. Tidak hanya itu, sering kali masyarakat Jakarta harus melihat mobil busway terbakar karena menggunakan produk dari Cina. Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, biasa dipanggil Ahok, saja menyatakan kapok membeli mobil busway dari Cina.

Cara pemerintah untuk memenangkan produk Cina dalam berbagai macam proyek juga sudah diluar etika berbisnis. Lihat saja, dimenangkannya investor dari Cina dalam proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, terlihat sangat janggal. Bagaimana tidak, Jepang sudah mengadakan studi kelayakan proyek itu sejak lama. Tapi, di tengah jalan Cina dapat menyerobot proyek tersebut. Caranya, pemerintah seakan-akan merubah mekanisme kerja sama proyek tersebut.

Sekarang ditengah bulan madu hubungan ekonomi Indonesia dan Cina, Jokowi menyatakan bahwa Indonesia mau bergabung dengan TPP. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia ingin bermain dua kaki? Satu sisi tetap ingin tetap mengistimewakan Cina di sisi lain ingin bergabung dengan TPP.

Jokowi harus sadar bahwa dulu, semasa Indonesia baru merdeka, kita pernah mencoba bermain politik luar negeri dua kaki. Seperti kita ketahui pasca PD II, dalam politik internasional terjadi perang dingin antara blok timur (komunis) dan blok barat (liberalis). Saat itu, Indonesia ingin berteman dengan kedua blok tersebut. Kebijakan politik internasional dua kaki Indonesia kala itu, kita sebut dengan politik luar negeri bebas aktif.

Nyatanya, politik luar negeri bebas aktif kita hanya bertahan seumur jagung. Semenjak Kabinet Sukiman-Suwirjo (1951-1952) politik luar negeri bebas aktif sudah dilanggar. Kabinet Sukirman-Suwirjo lebih berpihak kepada blok barat.

Memang ketika Kabinet Ali Sastroamijoyo Indonesia mencoba kembali mencoba berpolitik bebas aktif. Sayangnya, Untuk menjalankan pemikiran politiknya, Bung Karno lebih memilih untuk bergabung dengan blok timur.

Setelah bung Karno dijatuhkan oleh Soeharto. Politik luar negeri kita jelas berkiblat ke blok barat. Blok barat mulai menjauhi Indonesia, ketika blok timur (komunis) bukan lagi ancaman bagi mereka. Justru, blok barat sedang berusaha menjatuhkan pemerintahan militerisme dengan kampanye demokrasi dan HAM.

Pemerintahan militerisme Soeharto tentunya tidak sejalan dengan kampanye tersebut. Akibatnya, ketika terjadi peristiwa Santa Cruz di tahun 1991 dimulailah embargo persenjataan militer terhadap Indonesia.

Polarisasi politik Internasional sekarang memang tidak bisa disamakan saat perang dingin. Tapi, hubungan antara Cina dan AS semakin hari semakin memanas. Lihat saja, AS mulai ikut campur ketika Cina terus menerus membuat pulau buatan di Kepulauan Spratly. Cina terlihat sangat agresif dalam sengketa tersebut. Melihat hal itu, militer AS mulai unjuk gigi. Menariknya, dalam sengketa Kepulauan Spratly, Cina berhadapan dengan beberapa negara anggota TPP.

Bila polarisasi antara Cina dengan TPP semakin meruncing. Politik dua kaki pemerintahan Jokowi akan membuat posisi politik internasional kita tidak jelas. Imbasnya, kita tidak akan dianggap teman oleh salah satu pihak.

Untuk kepentingan nasional, jelas kita harus berpihak kepada yang paling kuat. Secara ekonomi dan teknologi jelas TPP lebih kuat dari Cina. Memihak kepada Cina hanya akan membawa kemunduran ekonomi dan teknologi bagi bangsa ini. Lagi pula, keberpihakan kita ke Cina juga hanya mengutungkan segelintir orang.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun