Saya punya seorang teman pria yang usianya masih 20 tahun, dan tentu belum menikah. Sebut saja namanya A. Ayahnya meninggal saat dia masih SMA, dan di rumah dia hanya tinggal bertiga dengan ibu dan seorang kakaknya. Suatu hari, A curhat pada saya, "Barusan aku bertengkar dengan ibu."
"Lho, kenapa?"
"Aku memprotes karena dia terlalu sibuk beraktivitas di luar, dan anaknya jadi terlantar. Padahal dulu kami sudah janji, ibu tak perlu bekerja. Aku dan kakak yang akan bekerja untuk biaya hidup kami. Tapi belakangan ini ibu makin sibuk mencari aktivitas di luar sana, yang tak jelas juntrungannya. Aku benci ibu, karena dia lebih mementingkan aktivitas di luar ketimbang mengurus anaknya sendiri."
Saya tersenyum setelah mendengar penuturannya itu. Lalu saya berkata, "Ya, saya bisa memaklumi kejengkelan kamu. Tapi pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaan ibumu? Dia seorang janda, merasa kesepian karena hanya bisa bengong di rumah, tak ada yang menemani. Anak-anaknya sibuk bekerja, tak ada yang memperhatikan dirinya. Saya kira, dia mencari kesibukan justru untuk mengusir rasa kesepian yang dia alami. Kamu memang berhak menuntut perhatian dari ibumu. Tapi apa kamu bisa memahami bagaimana situasi membosankan dan kesepian yang dialami oleh ibumu?"
Si A manggut-manggut, menyadari sesuatu, lalu ia berkata, "Hm... benar juga, ya. Saya tadi belum kepikiran sampai ke situ."
Begitulah jika kita bisa berempati terhadap orang lain. Kita coba memahami dirinya, mencoba memposisikan diri sebagai dirinya. Jika berhasil, maka sifat egois kita akan tergantikan oleh empati yang sangat indah.
Semoga bermanfaat.
Jonru
Founder & Direktur Dapur Buku
Cara Baru Menerbitkan Buku
Follow me: @jonru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H