Ya, kita semua - termasuk saya - adalah para makhluk egois.
Menjadi makluk egois memang menyenangkan, terutama bagi nafsu individualistis kita.
The problem is... kita tidak hidup sendirian di bumi ini. Kita berhadapan dengan manusia-manusia lain yang juga sama egoisnya dengan kita. Bayangkanlah jika setiap orang hanya mementingkan keegoisan dirinya. Apa yang terjadi?
Tentu dunia akan kacau balau, bahkan perang dunia yang sangat dahsyat akan terjadi dalam waktu yang sangat dekat.
Jika saya hanya mementingkan egoisme diri sendiri, Anda pasti tak tertarik membaca tulisan ini. Karena saya tidak memikirkan bagaimana caranya agar tulisan ini membuat Anda terkesan, jatuh cinta, lalu manggut-manggut dan berkata, "Hm... benar juga, ya. Saya suka tulisan ini!"
Hanya mementingkan egoisme itu bukan hanya tidak baik, namun juga tidak bermanfaat (termasuk bagi diri sendiri).
Berita baiknya, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Kita tak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Ketika berangkat ke pesta pernikahan seseorang pun, kita merasa kurang percaya diri bila tak ada "gandengan". Bila belum punya pasangan, kita mungkin mengajak adik atau keponakan, supaya ada yang menemani.
Kita tak bisa hidup sendirian. Kita butuh orang lain. Karena itulah, sikap egoisme pada diri sendiri itu pun harus kita kendalikan, kita IMBANGI DAN NETRALKAN dengan sikap lain, yakni EMPATI.
Empati pada dasarnya adalah memahami. Kita berusaha memahami orang lain. Walau misalnya kita tidak setuju atau tidak suka pada seseorang, setidaknya kita memahami kenapa dia seperti itu.
Beberapa tahun lalu, seorang pria tak dikenal mendatangi saya. Dia bercerita tentang prinsip hidupnya yang menganggap semua hadits tak bisa dipercaya. "Saya percaya pada Rasulullah, tapi saya tak percaya pada hadits manapun," ujarnya.
"Kenapa?" tanya saya.