Mohon tunggu...
Harjono Honoris
Harjono Honoris Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Generasi Ke-2 Penjaga Toko Obat Cina Makassar | Aktif di Instagram Multi Prima @obatmultiprima

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Athirah: Drama Keluarga Bugis yang Indah, tapi Kurang Bercerita

17 Oktober 2016   15:45 Diperbarui: 17 Oktober 2016   16:03 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: haloselebriti.net

Drama yang indah, tapi seringkali diam dan kurang berbicara. Salah satu karya Miles Films yang berani tampil beda, tapi sulit dicerna oleh penonton film modern.

Saya datang dengan ekspektasi tinggi pada Athirah, dengan identitasnya sebagai karya Miles Films. Laskar Pelangi, Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 1 & 2 adalah sekumpulan film yang dapat memberikan cerita humanis dengan begitu memikat dan bermanfaat. Bahkan film bela diri dari Miles Films, Pendekar Tongkat Emas, bukan hanya ciat-ciat, tapi sarat makna dan filosofi. Semua karya Miles Films ini membuatku ingin menontonnya lebih dari sekali; harapan serupa tersimpan pada Athirah.

Sinopsis

Ketika saya memasuki gedung bioskop, saya mendengar bunyi gendang Makassar persis seperti di acara-acara kelurahan. Ternyata sedang ada adegan pernikahan lengkap dengan baju adat serba merah yang khas Sulawesi Selatan. Kemudian, mulai diperkenalkan sosok Athirah (Cut Mini) dengan seluruh anggota keluarganya, dari sang suami Puang Haji Kalla (Arman Dewarti), dua anak perempuan, dan anak lelaki Ucu (Christoffer Nelwan) yang sejatinya adalah sosok wakil presiden Jusuf Kalla. Tampaknya mereka adalah keluarga berada, di mana sang ayah menjalankan bisnis pengiriman barang N.V. Hadji Kalla, sang anak Ucu bisa mengemudi motor Vespa, dan selalu tersedia makanan lengkap di meja makan mereka setiap malam.

Keluarga Ucu adalah gambaran keluarga harmonis. Setiap makan malam, mereka selalu menunggu sampai anggota keluarganya lengkap kemudian makan sambil bercakap-cakap. Suasana hangat selalu terpancar setiap makan malam, sampai ketika sang ayah mengambil istri kedua tanpa memberi tahu Athirah. Hubungan suami istri ini mulai keruh, dan merenggangkan hubungan antar anggota keluarga. 

Sosok sang ayah perlahan mulai menghilang dari keluarga Athirah ketika hatinya lebih tertambat pada istri kedua, dan jarang pulang ke rumah Athirah. Athirah dan anaknya Ucu kemudian harus kembali belajar, apakah mereka bisa terus menjadi keluarga tanpa junjungan sang kepala keluarga?

Pujian

Sumber Gambar: antarasulteng.com
Sumber Gambar: antarasulteng.com
Perwujudan latar dan performa akting adalah dua kilauan yang memancar sepanjang film.

Suasana Makassar tahun 50-60an dalam film terlihat sederhana tapi cantik dan otentik. Becak, rumah sederhana dengan jendela berpintu, seragam sekolah berwarna gading, dan dialog beraksen Makassar-Bugis menghidupkan kisah Athirah; terasa sangat dekat dan nyata bagi saya sebagai warga kota Makassar. Warna-warna dalam film dimainkan dengan begitu baik, terlihat dengan penonjolan warna gading untuk suasana tempo dulu, warna cerah untuk keindahan alam, dan warna gelap untuk suasana sendu. Detail-detail kecil yang begitu khas, seperti dalam film AADC 2, memberikan suatu pemandangan yang sangat memanjakan mata.

Pemanjaan mata ini didampingi oleh pergolakan emosi dalam tiap karakternya. Tak ada cela yang saya bisa dapatkan dalam akting, setiap pemeran terlihat natural dan tenggelam dalam perannya, khususnya bagi Cut Mini dan Christoffer Nelwan yang fasih melafalkan aksen Makassar. Juru kamera seakan menyadari kekayaan performa akting ini sampai fokus gambar dipertajam ke arah mimik wajah tiap pemain; terlihat sangat jelas sampai saya bisa melihat cahaya mata yang jelas dan terkadang berurai ketika sedih. Tindakan yang sangat tepat.

Keluhan

Tokoh Athirah dan Ucu (momdadi.com)
Tokoh Athirah dan Ucu (momdadi.com)
Pendekatan bahasa gambar dan aliran plot cukup menimbulkan keresahan dalam menikmati film ini.

Gaya penceritaan yang memanfaatkan bahasa gambar sedikit menyusahkan dalam mengikuti cerita film. Setiap adegan minim dialog, dan saya harus menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Pendekatan ini membuat banyak kebingungan, mulai dari objek-objek kurang jelas seperti krim rambut, bola benang hitam, dan gelang emas; sampai motivasi karakter.

Beragam ekspresi Cut Mini membantu saya memahami kondisi karakter, tapi tidak dengan alur cerita. Motivasi karakter dalam tiap tindak-tanduknya jadi sulit dipahami, misalnya keputusan Athirah membuat bisnis kain tenun, apakah itu adalah pelarian untuk kesedihan dimadu, keinginan untuk memajukan nasib kaum perempuan, atau membantu keluarganya? Cukup susah memetik inspirasi dari seseorang yang motivasinya tidak ditunjukkan secara jelas.

Bagian cerita Ucu adalah bagian paling lemah dalam film ini, khususnya kisah asmaranya. Cerita Ucu dengan teman-teman sekolahnya, beserta sosok yang ditaksirnya seakan sebuah cerita terpisah yang tak akan terlalu berpengaruh jika dihilangkan dalam film yang berfokus pada sosok Ibu Athirah ini. Di bagian akhir, plot utama memberi nilai tambah pada cerita Ucu, tetapi cerita Ucu tak berfungsi sebaliknya. Tampaknya bagian ini cuma dibuat sebagai pemanis film dan menunjukkan fase pertumbuhan Ucu dari remaja menjadi pemuda, tapi tidak memberi dampak apa-apa dalam perkembangan cerita Athirah secara keseluruhan.

Kesimpulan

Sesuai dengan judul filmnya, Athirah berfokus pada respons tokoh Athirah seorang perempuan yang dimadu dalam membangun ulang harga dirinya dalam keluarga dan masyarakat. Dalam kehidupan nyata, sosok Athirah ini telah menjadi inspirasi bagi masyarakat, terutama bagi Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla yang merasa seluruh kebesarannya adalah inspirasi dari sang ibu. 

Sepanjang film, banyak adegan-adegan yang mengandung potensi dramatik yang bisa mengungkapkan jasa dan peran tokoh Athirah lebih jauh, tapi kemudian diredam oleh lanskap yang lagi-lagi indah, tapi tidak berbicara. Film-film yang berfokus pada tokoh nyata  biasanya memiliki kesan biopik yang mengandung banyak drama dan pengungkapan dari tiap ceritanya.  

Namun, film ini menggunakan bahasa gambar sesuai pernyataan pembuat film bahwa Athirah bukan film biopik, yang menjadikannya sulit dicerna. Analoginya, ini seperti menikmati pallu mara (pindang ikan khas Makassar) yang kurang kuah ikannya; masih tetap nikmat dimakan dengan nasi tapi sulit dicerna. Namun, film ini sukses untuk membuat saya penasaran akan kisah perjuangan Athirah dan ingin menikmati cerita versi novel.

Rating

 7.0 / 10

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun