Gaya penceritaan yang memanfaatkan bahasa gambar sedikit menyusahkan dalam mengikuti cerita film. Setiap adegan minim dialog, dan saya harus menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Pendekatan ini membuat banyak kebingungan, mulai dari objek-objek kurang jelas seperti krim rambut, bola benang hitam, dan gelang emas; sampai motivasi karakter.
Beragam ekspresi Cut Mini membantu saya memahami kondisi karakter, tapi tidak dengan alur cerita. Motivasi karakter dalam tiap tindak-tanduknya jadi sulit dipahami, misalnya keputusan Athirah membuat bisnis kain tenun, apakah itu adalah pelarian untuk kesedihan dimadu, keinginan untuk memajukan nasib kaum perempuan, atau membantu keluarganya? Cukup susah memetik inspirasi dari seseorang yang motivasinya tidak ditunjukkan secara jelas.
Bagian cerita Ucu adalah bagian paling lemah dalam film ini, khususnya kisah asmaranya. Cerita Ucu dengan teman-teman sekolahnya, beserta sosok yang ditaksirnya seakan sebuah cerita terpisah yang tak akan terlalu berpengaruh jika dihilangkan dalam film yang berfokus pada sosok Ibu Athirah ini. Di bagian akhir, plot utama memberi nilai tambah pada cerita Ucu, tetapi cerita Ucu tak berfungsi sebaliknya. Tampaknya bagian ini cuma dibuat sebagai pemanis film dan menunjukkan fase pertumbuhan Ucu dari remaja menjadi pemuda, tapi tidak memberi dampak apa-apa dalam perkembangan cerita Athirah secara keseluruhan.
Kesimpulan
Sesuai dengan judul filmnya, Athirah berfokus pada respons tokoh Athirah seorang perempuan yang dimadu dalam membangun ulang harga dirinya dalam keluarga dan masyarakat. Dalam kehidupan nyata, sosok Athirah ini telah menjadi inspirasi bagi masyarakat, terutama bagi Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla yang merasa seluruh kebesarannya adalah inspirasi dari sang ibu.Â
Sepanjang film, banyak adegan-adegan yang mengandung potensi dramatik yang bisa mengungkapkan jasa dan peran tokoh Athirah lebih jauh, tapi kemudian diredam oleh lanskap yang lagi-lagi indah, tapi tidak berbicara. Film-film yang berfokus pada tokoh nyata  biasanya memiliki kesan biopik yang mengandung banyak drama dan pengungkapan dari tiap ceritanya. Â
Namun, film ini menggunakan bahasa gambar sesuai pernyataan pembuat film bahwa Athirah bukan film biopik, yang menjadikannya sulit dicerna. Analoginya, ini seperti menikmati pallu mara (pindang ikan khas Makassar) yang kurang kuah ikannya; masih tetap nikmat dimakan dengan nasi tapi sulit dicerna. Namun, film ini sukses untuk membuat saya penasaran akan kisah perjuangan Athirah dan ingin menikmati cerita versi novel.
Rating
 7.0 / 10