Mohon tunggu...
Jonny Ricardo Kocu
Jonny Ricardo Kocu Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pengajar dan Penulis Lepas

Suka Membaca dan Menulis. Tertarik pada Politik & Pemerintahan, Sosial Budaya, dan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Kehadiran Perempuan Papua dalam Pilkada 2024: Antara Representasi Perempuan dan Keberlanjutan Dinasti Politik

12 Agustus 2024   22:58 Diperbarui: 21 Agustus 2024   20:51 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
DesainCanva : Jonny Ricardo Kocu

" Kehadiran sosok perempuan dalam panggung politik perlu didukung dan diapresiasi, tetapi jangan menutup mata untuk melihat relasi politik yang ada. Terutama, relasi yang melanggengkan dinasti politik, yang akan menghambat penguatan demokrasi, tata Kelola pemerintahan dan perubahan di daerah.

Oleh : Jonny Ricardo Kocu *

Tulisan ini berangkat dari diskursus politik pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2024, secara khusus kehadiran Perempuan sebagai calon kepala daerah (bupati/walikota) di Provinsi  Papua Barat Daya. Fokus tulisan menyoroti sosok Petronela Kambuaya. Ada dua sisi yang perlu dilihat: Pertama,  dalam konteks representasi Perempuan dalam pilkada. Kedua, kehadiran Perempuan sebagai keberlanjutan (politik) dinasti. Sehingga, pertanyaan-pertanyaan seperti : Apakah kehadiran sosok perempuan (Petronela Kambuaya) dalam panggung politik di Kota Sorong sebagai representasi perempuan dalam politik, atau kehadiran sebagai kelanjutan dinasti politik, ataukah kedua hal ini akan menjadi ambivalen ? pertanyaan tersebut, secara umum akan dijawab dalam tulisan ini.

Terbatasnya Ruang Politik bagi Perempuan Papua 

Saya pernah menulis tentang Nasib Perempuan Papua dalam Pemilu Legislatif 2024 di media The Papua Journal Lihat di Sini, pada awal tahun ini. Intinya, bahwa nasib perempuan papua dalam politik sangat memprihatinkan, tantangan perempuan papua untuk memenangkan kontestasi politik elektoral cukup berat, dibandingkan dengan laki-laki. 

Tantangan perempuan dalam politik, disebabkan oleh kultur patriarki yang menghambat perempuan dalam politik, begitu juga institusi politik (Partai) yang menjadikan perempuan "hanya dan sekedar" sebagai pemenuhan syarat pencalonan 30% perempuan. Belum lagi, kendala modal finansial yang sering mempersulit perempuan papua dalam politik.

Sedangkan, kepemimpinan perempuan papua dalam posisi eksekutif (politik) seperti kepala daerah, menjadi bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, begitu juga gubernur/wakil gubernur di tanah Papua, merupakan sesuatu yang jauh dari genggaman perempuan. Jangankan memenangkan kontestasi politik (seperti Pilkada), menjadi calon saja, merupakan sesuatu yang jarang dan sulit bagi perempuan papua. Walau ada beberapa perempuan papua pernah menjadi calon kepala daerah, seperti Irene Manibui dalam pilgub Papua Barat pada pilgub 2017 ( sebelumnya Irene menjabat sebagai wakil gubernur, menggantikan Rahimin Katjong yang meninggal dunia pada tahun 2015).

Baja Juga : Nasib Kabupaten Maybrat Pasca Kepemimpinan Bernhard Rondonuwu

Baik di ruang politik legislatif maupun eksekutif, perempuan papua secara umum, sulit mengakses ruang seperti itu. Politik di Tanah Papua cenderung didominasi oleh kaum laki-laki. Faktor seperti kultur patriarki dalam masyarakat dan institusi politik, menjadi faktor penyebab. Walau begitu, pasca masa transisi kepemimpinan, beberapa daeraH di Tanah Papua dijabat oleh perempuan papua sebagai Pj. Kepala daerah. Namun, tetap saja, mereka bukan datang dari jalur kompetitif elektoral (melalui pemilihan langsung).

Kemunculan Perempuan Papua dalam Pilkada 2024

Saya membatasi area bahasan pada wilayah Provinsi Papua Barat Daya. Pada pilkada 2024 ini, ada beberapa sosok perempuan papua yang muncul dalam diskursus politik lokal sebagai bakal calon kepala daerah (walau belum tentu, semua memperoleh rekomendasi parpol dan akan ditetapkan sebagai calon oleh KPU). Di Kabupaten Sorong Selatan ada sosok Petronela Krenak, di Kabupaten Tambrauw ada sosok Maria Hae, di Kota Sorong ada sosok Petronela Kambuaya. Ketiga nama yang muncul di tiga kabupaten/kota tersebut membawa angin segar akan emansipasi dan representasi perempuan dalam ruang politik lokal di tanah Papua, khususnya Provinsi Papua Barat Daya (PBD)

Dari ketiga nama perempuan yang berpotensi menjadi calon kepala daerah di kabupaten/kota di Provinsi PBD, saya akan berfokus pada sosok Petronela Kambuaya. Ada beberapa alasan sederhana, mengapa saya berfokus pada sosok tersebut. Pertama, Petronela Kambuaya sudah memperoleh mandat beberapa partai politik untuk mencalonkan diri. 

Kedua, Petronela Kambuaya memiliki relasi dinastik (suaminya Lambertus Jitmau) mantan walikota sorong dua periode, dan kini, telah mendapatkan rekomendasi untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur Provinsi Papua Barat Daya). Ketiga, menurut saya, karena alasan poin kedua, sosok Petronela kambuaya punya peluang besar untuk menang dalam pilwakot Sorong, dan menjadi kepala daerah perempuan papua pertama, melalui pemilihan langsung.

Sepintas tentang Sosok Petronela Kambuaya

Petronela Kambuaya, lahir di Jitmau Kabupaten Maybrat pada 60 tahun silam. Ia, menikah dengan Lambertus Jitmau (adalah mantan walikota Sorong dua periode dan bakal calon Gubernur Provinsi Papua Barat Daya). Secara Sepintas karier Politik Petronela Kambuaya dirintis bersama suaminya di partai Golkar, dan terjun dalam pemilu legislatif tahun 2009, dan terpilih sebagai anggota DPRD Kota Sorong periode 2009-2014. Selanjutnya, pemilu 2014 dan pemilu 2019, Petronela Kambuaya kembali terpilih dalam dua perhelatan tersebut, dan menariknya, ia terpilih sebagai ketua DRPD/DPRK Kota Sorong, periode 2014-2019 dan periode 2019-2024.

Baca juga : Keluarga dan Politik Demokrasi di Papua

Sedangkan suaminya, terpilih menjadi walikota sorong pada pilwakot 2012 dan pilwalkot 2017. Artinya dua kesempatan Petronela Kambuaya berkontestasi dalam pemilu legislatif (2014 dan 2019) dan terpilih sebagai ketua DRPD/DPRK Kota Sorong, dalam situasi dan suasana suaminya sedang menjabat sebagai walikota Sorong. Kini, mereka menjabat sebagai ketua DPD partai Golkar di tingkat Provinsi PBD dan Kota Sorong. Artinya, Keluarga ini bisa dilihat sebagai keluarga partai Golkar, dan secara karier politik cukup sukses di Kota Sorong.

Pada bagian ini, saya tidak menulis banyak seperti menulis biografi tokoh, melainkan informasi terkait latar belakang keluarga dalam politik, menjadi pedoman dalam menjawab pertanyaan utama, yang telah diajukan pada bagian awal artikel ini.

Antara Representasi Perempuan dalam Politik dan Keberlanjutan Politik Dinasti.

Keberhasilan Petronela Kambuaya dalam memimpin partai Golkar dan menjadi anggota legislatif di Kota Sorong selama tiga periode (dua periode menjadi ketua DPRD/DPRK Kota Sorong), perlu diapresiasi sebagai keberhasilan perempuan papua dalam panggung politik. Tetapi, fakta lain yang tak bisa disangkal adalah posisi dan relasi suaminya adalah mantan walikota sorong dua periode dan kini mau mencalonkan diri sebagai gubernur di wilayah yang sama dengan pencalonan ibu Petronela Kambuaya.  

Apalagi terlihat bahwa Ketika ibu Petronela berkontestasi dalam pemilu legislatif dan menjadi anggota sekaligus ketua DRPD Kota sorong, pada kondisi Dimana suaminya sedang menjabat sebagai walikota Sorong. Secara teori politik, Petronela memiliki modal politik dan finansial yang cukup kuat dibandingkan caleg lainnya.

Baca Juga : Kriminalitas yang Tinggi di Kota Sorong 

Pada kondisi seperti itu, kita perlu bertanya lagi. Apakah perempuan papua, bisa menjadi ketua partai, menang tiga pileg dan dua diantaranya menjadi ketua DPRD, jika suaminya bukan pejabat daerah (bupati/walikota) ? bagi saya, tidak mungkin untuk kontes politik saat ini yang cenderung patriarki ! kecuali perempuan itu memiliki relasi dekat dengan kekuasaan, seperti ibu Petronela Kambuaya. 

Menurut saya kehadiran perempuan papua dalam politik seperti ibu Petronela Kambuaya, tidak bisa dilihat dalam kacamata emansipasi dan representasi perempuan dalam politik saja, melainkan harus dibaca dalam kerangka relasi politik. Relasi politik yang disebut sebagai dinasti politik.  Sehingga apa yang dipraktekkan selama ini di kota Sorong, antara mantan walikota dua periode dan istrinya sebagai ketua  DPRD Kota Sorong, bagi saya ini adalah praktek politik dinasti, yang memperburuk demokrasi, sekaligus menghambat perubahan, perbaikan dan kemajuan daerah -- kota Sorong.

Bagaimana mungkin dalam relasi legislatif dan eksekutif (ketua DRPD kontrol dan awasi walikota, yang tidak lain adalah suaminya) ? sekali lagi, menurut saya praktek dinasti seperti ini telah menghambat agenda perubahan dan perbaikan di Kota Sorong, terutama bagi kehidupan Orang Asli Papua (OAP). Bisa baca tulisan saya tentang kegagalan Pemerintah Kota Sorong, yang melahirkan problem kriminalitas yang tinggi di Kota Sorong Baca di Sini

Ambivalensi Kepentingan 

Kehadiran perempuan khususnya Perempuan Papua dalam politik, terutama yang memiliki latar belakang politik dinasti akan mengaburkan pandangan kita, antara emansipasi dan representasi perempuan dalam politik di sisi lain, dan keberlanjutan dinasti pada satu sisi. Akan mengaburkan kita antara kepentingan perempuan yang diperjuangkan, dengan kepentingan melanjutkan dan memperkuat kepentingan dinasti. Pada kecenderungan praktik politik dinasti, kehadiran perempuan seperti yang dialami ibu Petronela Kambuaya, lebih mengamankan kepentingan dinastinya, karena kehadiran sosok seperti ini, tidak murni basis ideologi dan gerakan perempuan, tetapi diendors oleh relasi politik - suaminya. Artinya, kecil kemungkinan untuk memperjuangkan kepentingan perempuan, Ketika kelak terpilih menjadi walikota.

Baca Juga : Demokrasi Mati

Akan tetapi, ada celah dan peluang lain bahwa bisa saja terjadi "Ambivalensi kepentingan" dalam diri Petronela Kambuaya, walau diendors oleh kepentingan politik dinasti, di sisi lain, sebagai manusia berkesadaran, tetap saja membawa kepentingan perempuan ketika terpilih nanti - menjadi walikota Sorong. Namun, menurut keyakinan saya, ambivalensi kepentingan bisa ada, tetapi porsi kepentingan keberlanjutan dinasti, akan lebih besar, dan tentu, praktek politik dinasti adalah ancaman bagi demokrasi, tata Kelola pemerintahan dan kesejahteraan masyarakat. 

*Penulis adalah Pengajar/Dosen di Universitas Nani Bili Nusantara (UNBN) Sorong, Papua Barat Daya

Referensi Pendukung : 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun