Mohon tunggu...
Jonny Ricardo Kocu
Jonny Ricardo Kocu Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Suka Menulis dan Tertarik Pada Literasi, Politik dan Pemerintahan, Sosial Budaya, Lingkungan dan Literasi

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Tradisi Kain Timur dalam Praktek Politik Modern: Tinjauan Terhadap Buku Prof. Haryanto

28 Maret 2024   14:05 Diperbarui: 28 Maret 2024   23:13 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kain Bo, Aifat, Ayamaru, 1956. https://www.pustakapapua.com/2023/05/kain-bo-bagian-dari-tradisi-orang.html

 

Tulisan yang akan anda baca ini merupakan tugas kuliah saya beberapa tahun lalu. Karena alasan dan semangat penyebaran informasi dan pengetahuan, perlu saya bagikan ke publik. Terutama dalam upaya memahami budaya politik di Papua Barat (kini Provinsi Papua Barat Daya), secara khusus praktek tradisi yang diadopsi ke dalam praktek politik modern. Tinjauan buku  bukan ringkasan buku. Ringkasan buku, seperti sebutannya, hanya penyajian ulang isi buku dalam format ringkasnya; sementara tinjauan buku melibatkan interaksi dan evaluasi kritis terhadap isi buku tersebut. 

Bibliografi

Judul : POLITIK KAIN TIMUR "Instrumen Meraih  Kekuasaan "

Penulis :  Haryanto

Penerbit:  PolGov UGM

Tahun :  2015

Tebal :  xxiii + 227 Halaman

Dok. Jonny Ricardo Kocu - joewithbooks_d4c882bcc28047d3a3b649c71e3468c5
Dok. Jonny Ricardo Kocu - joewithbooks_d4c882bcc28047d3a3b649c71e3468c5

Buku ini diawali dengan Kata Pengantar yang ditulis oleh Prof. Balthasar Kambuaya, M.B.A. ketika disampaikan pada acara bedah buku Politik Kain Timur. Dalam pengantar tersebut Prof. Kambuaya menyatakan ;

" Keunikan buku terletak pada bagaimana filosofi permainan kain timur yang menjadi tradisi, budaya dan adat masyararakat kepala burung dapat diadopsi dan diimplementasikan dalam kegiatan politik modern zaman ini, khususnya dalam pelaksanaan pilkada. Selain itu, beliau juga menyampaikan fokus utama pembahasan buku ini pada pemanfaatan tradisi oleh aktor untuk meraih kekuasaan di dalam mekanisme Pilkada. Serta upaya pemanfaatan sumber daya yang ada untuk memobilisasi dukungan.

Dalam buku tersebut, penulis mengawali dengan mengurai gagasan terkait kekuasaan, yakni bagaimana seorang aktor memperoleh, mempertahankan, ataupun memperbesar kekuasaan ? namun, pertanyaan itu bisa menghadirkan pertanyaan yang tak kalah penting, yakni bagaimana seorang aktor menggalang dukungan dalam meraih kekuasaan. Pertanyaan yang terakhir ini menurut saya merupakan pertanyaan utama yang jawabannya akan dibahas dalam buku Politik Kain Timur.

Pokok pembahasan tiap bab

Pokok bahasan tiap bab, saya sajikan secara terpisah Baca Disini : ULASAN BUKU - POLITIK KAIN TIMUR Instrumen meraih kekuasaan

Klaim  Penulis dan Hasil temuan

Beberapa klaim dan argumen penulis yang menurut saya sebagai pokok pikiran dalam buku ini yakni:

  • Tradisi pertukaran Kain Timur bisa dimanfaatkan untuk memobilisasi dukungan dalam meraih kekuasaan, sehingga menurut penulis juga bahwa mobilisasi dukungan untuk meraih kekuasaan tidak harus memanfaatkan partai politik. Pendapat penulis tersebut secara langsung membantah klaim kajian sebelumnya ( Budiarjo, 1981. Fitryah, 2005. Asfar, 2005 ) bahwa di Kabupaten Sorong Selatan fungsi Partai Politik sebagai alat mobilisasi dukungan untuk meraih kekuasaan tidak di temukan atau tidak berlaku. Menurut penulis faktor yang menyebabkan fungsi partai tidak berjalan dikarenakan tumpang tindih bahkan dapat dinyatakan nyaris fungsi partai identik dengan kelompok etnis.
  • Klaim yang menarik adalah sikap 'Kami' dan 'Mereka' dalam masyarakat terkikis oleh pemanfaatan tradisi pertukaran Kain Timur
  • Di sisi lain penulis juga melakukan klaim bahwa tidak semua tradisi bisa dimanfaatkan sebagi instrumen memobilisasi dukungan. Penulis juga membedakan tradisi pertukaran kain timur dengan konsep gift (Mauss dan Hyde)
  • Namun Penulis juga meragukan efektivitas tradisi pertukaran Kain Timur dalam pemilihan yang pemenangnya lebih dari satu, misalnya pemilihan legislatif. Sehingga menurut penulis dukungan akan efektif apabila memanfaatkan isu kesetiaan kelompok (primordial)
  • Penulis juga melihat bahwa dalam tradisi pertukaran Kain Timur ada beberapa aspek pokok yakni; aspek ekonomi, sosio-kultural dan aspek politik.
  • Penulis juga melihat bahwa tradisi pertukaran menghadirkan mekanisme memberi-menerima yang bersifat timbal balik (reciprocal) dapat dinyatakan sebagai "racun", baik bagi pihak pemberi maupun pihak penerima. Hal ini karena kedua belah pihak terbebani kewajiban untuk melakukan pengembalian balasan sepanjang yang bersangkutan masih menerima pemberian.

Temuan dalam kajian ini :

  • Mobilisasi dukungan ditentukan oleh kemampuan kandidat dalam memanfaatkan tradisi pertukaran Kain Timur. Kemampuan memanfaatkan tradisi ditentukan oleh sumber daya yang dimiliki kandidat tersebut. Salah satu sumber daya yang dimanfaatkan oleh Otto Ihalauw adalah sumber daya normatif karena posisi Otto Ihalauw sebagai petahana.
  • Tradisi yang bisa dimanfaatkan untuk menghadirkan mobilisasi adalah tradisi pertukaran Kain Timur. Tradisi pertukaran Kain timur menghadirkan pola hubungan timbal balik (reciprocal) bercorak patronase antara pihak pemberi dan pihak penerima. Pola hubungan patronase menjadi penjelas berlangsungnya mobilisasi dukungan.
  • Mobilisasi terjadi karena kekuatan yang terkandung dalam tradisi tersebut yakni " saling mengunci kedua belah pihak "

Implikasi dari kajian ini;

  • Pemanfaatan tradisi pertukaran Kain Timur sebagai instrumen mobilisasi dukungan menjadikan partai politik sulit berkembang. Ada indikasi bahwa jarak yang menghubungkan masyarakat dan partai politik menjadi semakin jauh.
  • Mobilisasi digerakkan oleh mekanisme pertukaran antara pihak pemberi dan pihak penerima tampa putus.
  • Terjadinya mobilisasi karena adanya pertukaran antara aktor (kandidat) dengan masyarakat.
  • Walau tradisi pertukaran kain timur berbeda dengan money politics ( politik uang) , namun keduanya memiliki persamaan dalam mekanisme tukar-menukar, sehingga terbuka ruang untuk terjadinya praktek money politics.

Beberapa Rekomendasi Penulis :

1.   Masyarakat Sorong Selatan selain mengenal tradisi pertukaran Kain timur, juga mengenal tradisi Meramu. Esensi tradisi meramu menunjukan bahwa hasil yang lebih baik dan menguntungkan dijadikan pertimbangan bagi seseorang dalam melakukan aktivitas pekerjaannya. Kalau hasil tidak baik dan tidak menguntungkan maka seseorang beralih ke tawaran lain, naum dalam kajian ini tidak ditemukan. Sehingga memunculkan pertanyaan; apakah tradisi meramu sudah hilang dalam masyarkat Sorong Selatan ataukah karena kuatnya esensi tradisi pertukaran Kain Timur dalam mobilisasi dukungan dalam pilkada.

2.   Tradisi pertukaran sebagai instrumen mobilisasi perlu dikaji lebih lanjut terkait tingkat efektifitasnya untuk menggalang dukungan dalam kontestasi pemilihan yang tidak berprinsip the winner takes all, yakni kontestasi pemilihan yang menghasilkan pemenang lebih dari satu seperti pemilihan anggota legislatif

Interaksi Kritis

Interaksi kritis ini berkaitan dengan bagaimana pembaca menyetujui atau tidak menyetujui atas klaim penulis dengan argumentasi dari pembaca. Saya punya tiga argumen berupa persetujuan dan ketidaksetujuan saya atas klain dan hasil kajian penulis.

Pertama, saya tidak setuju terkait klaim penulis terkait efektivitas tradisi pertukaran Kain Timur dalam pemilihan yang pemenangnya lebih dari satu, misalnya pemilihan legislatif. Menurut penulis dukungan akan efektif apabila memanfaatkan isu kesetiaan kelompok (primordial). Menurut saya, penulis kurang jeli atau tidak mendalami tradisi Pertukaran Kain Timur dalam memobilisasi dukungan dalam pemilihan anggota legislatif. Padahal, pola memanfaatkan tradisi pertukaran dalam memobilisasi dukungan dengan adanya corak patronase, sebenarnya ada dalam pemilihan legislatif.

Misalnya kita coba lihat tabel mengenai asal usul etnis anggota DPRD Kabupaten Sorong Selatan (halaman 133). Menurut penulis anggota DPRD yang terpilih dimana mayoritas kelompok etnisnya berdomisili, namun menurut saya mobilisasi tidak digerakkan oleh kesetiaan primordial saja. Melainkan mungkin penulis lupa bahwa realitas menunjukan kalau mayoritas penduduk di dapil tersebut masih homogen ( se-etnis) dan itu  bukan berarti mobilitas di gerakan oleh kesetiaan primordial, karena masih banyak calon yang berasal dari daerah yang sama. Menurut saya tradisi pertukaran Kain Timur masih berlaku di sini sebagai instrumen memobilisasi dukungan dalam pemilihan yang pemenangnya lebih dari satu seperti anggota legislatif. Kelemahan lain adalah, penulis berfokus pada analisis mengenai mobilisasi dukungan dalam pilkada namun penulis menarik kesimpulan mengenai pemilihan yang pemenangnya lebih dari satu, seperti pemilihan legislatif.

Kedua, sebagian besar klaim penulis secara pribadi saya setuju. Argumen saya bahwa esensi tradisi pertukaran Kain Timur memang masih kuat di wilayah kepala burung (Papua Barat) secara khusus locus kajian ini di Kabupaten Sorong Sorong. Memanfaatkan tradisi pertukaran sebagai instrumen mobilisasi dukungan dalam meraih kekuasaan merupakan salah satu strategi yang bisa digunakan oleh kandidat, tetapi catatannya tergantung kemampuan kandidat dalam memanfaatkan tradisi, sebagaimana klaim penulis.

Ketiga, keberhasilan Otto Ihalauw dalam memanfaatkan tradisi tidak terlepas dari kemampuannya memanfaatkan sumber daya normatif sebagai petahana (bupati). Pertanyaannya, bagaimana bila kandidat bukan petahana, apakah pemanfaatan tradisi pertukaran Kain Timur bisa efektif dalam memobilisasi dukungan ? saya pikir ini salah satu kelemahan atau lubang yang perlu ditelusuri lebih lanjut.

Kontribusi Positif

Buku Politik Kain Timur " Instrumen Meraih Kekuasaan '' tentu punya kontribusi positif bagi pihak akademisi, praktisi politik, maupun masyarakat luas (secara khusus masyarakat di wilayah kepala burung, Papua Barat). Ada  kontribusi positif kajian buku ini versi saya, yakni ;

  • Menambah kajian pengembangan mengenai budaya politik, secara khusus pemanfaatan tradisi sebagai instrumen  meraih kekuasaan. Buku ini menjelaskan fenomena politik dalam konteks masyarakat yang masih memegang teguh tradisi (esensi) pertukaran Kain Timur. Dengan membaca kajian ini, kita mampu memahami fenomena politik lokal di wilayah kepala burung (Papua Barat). Selain  Kabupaten Sorong selatan, kajian ini relevan dengan kondisi praktik politik di kabupaten Maybrat ( tempat asal saya), Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Pegunungan Arfak dan lainnya, karena esensi tradisi pertukaran Kain Timur  masih berlaku di daerah-daerah tersebut.
  • Kajian dalam buku ini memberi rekomendasi bagi partai politik untuk merevitalisasi fungsi mereka yang dicaplok oleh tradisi pertukaran Kain Timur, dimana fungsi partai sebagai instrumen dalam memobilisasi dukungan telah diambil alih oleh tradisi pertukaran Kain Timur, sebagai instrumen memobilisasi dukungan dalam meraih kekuasaan melalui kontestasi pilkada.
  • Kajian buku ini bermanfaat untuk praktisi politik di wilayah kepala burung (Papua Barat) dalam memanfaatkan tradisi sebagai instrumen meraih kekuasaan.
  • Kajian buku ini memberi penegasan bahwa pemanfaatan tradisi pertukaran Kain Timur bisa meminimalisir dan mengurangi sikap 'kami' dan 'mereka' ( kesetiaan primordial) yang selama ini menjadi hantu bagi perkembangan politik lokal, khususnya sebagai penghambat demokratisasi di tingkat lokal.
  • Kajian buku ini bisa dijadikan rujukan untuk studi lanjutan (Budaya Politik) mengenai pemanfaatan tradisi pertukaran Kain Timur sebagai instrumen meraih kekuasaan.

Kelemahan

Setiap karya tentu punya kelemahan secara subjektif di mata pembacanya. Sehingga saya merangkum beberapa poin yang bisa saya tangkap, yakni sebagai kelemahan dalam buku ini, antara lain;

Pada halaman 30,  paragraf kedua bagaimana digambarkan kondisi suku Maybrat dengan geografisnya dengan kondisi yang gersang dan tidak subur. Menurut saya ini kurang akurat karena kondisi alam Maybrat tidak seperti itu dan posisi penulis menjadi dan mungkin ada di wilayah sorong selatan namun membuat kesimpulan ke tempat lain yang ( mungkin) belum di ketahui secara langsung.

Tidak diuraikan lebih dalam mengenai bagaimana budaya meramu berperan dalam mobilisasi dukungan. Padahal ada salah satu bagian dalam buku ini dimana penulis menyilang konsep ( antara tradisi pertukaran kain timur dengan tradisi meramu) namun pembahasan tidak banyak mengenai tradisi meramu, dan pada bagian penutup penulis menyimpulkan mengenai tradisi meramu.

Dalam memanfaatkan sumber daya negara ( birokrasi, anggaran dan lainya). Penulis seperti berhati-hati dalam menyimpulkan politik anggaran yang dilakukan Otto Ihalauw. Saya duga penulis tidak berani menyimpulkan kalau terjadi korupsi (padahal ulasan penulis berindikasi kuat ke sana) , ataupun dengan memanfaatkan birokrasi, penulis tidak menyampaiakan kalau itu menghambat upaya reformasi birokrasi.

Rekomendasi

Rekomendasi atau memberi rujukan kepala pihak mana saja yang wajib membaca buku ini ;

  • Bagi mahasiswa; kajian ini wajib dibaca oleh mahasiswa, secara khusus yang ingin memahami politik lokal dan budaya politik. Dan buku ini bisa menjadi rujukan untuk kajian dan penelitian lebih lanjut.
  • Bagi praktisi- politisi; buku ini bisa gunakan secara praktik dalam memobilisasi dukungan dalam meraih kekuasaan .
  • Bagi masyarakat; di wilayah kepala burung, Papua barat, bacaan ini sangat relevan untuk memahami budaya politik serta keterlibatan -- partisipasi masyarakat dalam praktik politik, secara khusus aktivitas mobilisasi dukungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun