Oleh : Jonny Ricardo Kocu*
" Jauhi isu dan sentimen identitas, konflik antara Ayamaru vs Aifat. Jika isu dan sentimen ini masih hidup seperti pilkada sebelumnya, kita hanya memutar waktu untuk kembali pada masa sebelum Benrhard Rondonuwu datang ke bumi A3 "Â
Artikel ini berpijak pada argumen bahwa kepemimpin Pj Bupati Maybrat ( Dr. Bernhard E Rondonuwu, S.sos.,M.Si.) sejauh ini membawa banyak trobosan bagi perubahan dan kemajuan kabupaten Maybrat. Namun, keberhasilan tersebut akan sirna pasca pilkada 2024, bila proses politik (pilkada 2024) di kabupaten Maybrat nanti, mengulangi apa yang pernah terjadi pada pilkada-pilkada sebelumnya; Menghidupkan Isu dan sentimen identitas dalam politik yang menciptakan " Kitong Bakalai Sendiri ". Di akhir tulisan ini, saya menawarkan beberapa langkah yang perlu bersama-sama kita (Orang Maybrat) lakukan, untuk tidak mengulangi sejarah kelam " Kitong Bakalai Sendiri"Â dan pilkada yang tidak melahirkan pemimpin yang membawa perubahan.
Tulisan ini  bertujuan mematik kita (khususnya elit politik, kaum intelektual dan masyarakat kabupaten maybrat) untuk memikirkan nasib kabupaten Maybrat pasca kepemimpinan Pj Bupati Bernhard Rondonuwu nanti. Sekaligus merefleksikan pertarungan politik pilkada 2017 dan pemimpin terpilihnya, sebelum kehadiran Pj. Bupati Benhard Rondonuwu sebagai pelajaran politik, untuk menyambut pilkada 2024.
Apresiasi untuk Pj. Bupati Maybrat -Bernhard  E Rondonuwu
Kondisi Kabupaten Maybrat dalam kepemimpinan Pj. Bupati Maybrat mengalami perubahan yang cukup signifikan. Mulai dari gaya kepemimpinan, dengan blusukan ke kampung-kampung, distrik-distrik, sekolah-sekolah, masuk keluar hutan, dan lainnya. Wilayah Mare yang selama 10 tahun tidak dikunjungi oleh bupati terpilih, telah dikunjungi oleh Pj. Bupati lebih dari sekali, begitu juga beberapa daerah terpencil di wilayah Aifat Timur, Aifat Selatan, Aifat Timur Juah dan wilayah lainnya di kabupaten maybrat. Beberapa ruas jalan yang bertahun-tahun ditelantarkan, namun sejak kehadiran Pj Bupati dengan gebrakannya, jalan-jalan tersebut menjadi bagus. Kita bisa lihat di akun Instagram resmi Kabupaten Maybrat atau di Instagram Tribun Sorong , dan beberapa media lokal dan media sosial Pj. Bupati Maybrat.
Kebijakan yang paling baik, dan saya sangat apresiasi adalah kebijakan pemilihan kepala kampung secara langsung, sebagai mandat UU Desa dan wujud demokrasi, sekaligus mengakhiri praktek buruk yang hampir bertahun-tahun dilakukan oleh rezim sebelumnya, dengan menunjuk atau mengangkat, dan memberhentikan kepala kampung dengan nota dinas. Disamping apresiasi, saya tetap secara kritis mengkritisi kebijakan tersebut Baca di sini : Cerita dari kampung di Papua : Kontestasi Politik dan Keterpecahan Sosial
Banyak transformasi-terobosan dan perubahan yang dilakukan oleh Pj. Bupati Maybrat, yang telah mengubah wajah kabupaten Maybrat yang  "suram'' selama rezim sebelumnya. Sehingga apresiasi dan terima kasih sebagai putra Maybrat kepada Pj Bupati, perlu disampaikan. Tetapi, saya tidak mengkultuskan Pj. Bupati, bahwa beberapa kelemahan, bahkan kesalahan Pj. Bupati Maybrat, perlu secara jujur disampaikan. Seperti problem penanganan pengungsi pasca konflik di maybrat yang belum tuntas.
Pertanyaan penting yang perlu diajukan oleh orang Maybrat saat ini,yakni : Bagaimana Nasib Kabupaten Maybrat Pasca kepemimpinan Pj. Bupati Bernhard EÂ Rondunuwu ? untuk menjawab pertanyaan penting ini, perlu kita melihat kembali nasib kabupaten Maybrat Pasca dua pilkada (pilkada 2011 dan Pilkada 2017).
Periode Kelam : Maybrat selama satu dekade 2011-2022
Apa yang terjadi kabupaten Maybrat selama tahun 2011-2022 ? ini periode  saat saya menjalani masa SMA, kuliah S1 dan S2. Rentang tahun tersebut, terjadi konflik sengketa letak ibu kota kabupaten Maybrat, rentang waktu tersebut telah dua kali diselenggarakan pilkada, yang dimenangkan oleh sosok yang sama - Dr. Bernad Sagrim. Rentang waktu tersebut, banyak dinamika konflik politik terjadi, penyelenggaran pemerintahan tidak efektif, ibu kota kabupaten berpindah-pindah, kumurkek sebagai ibu kota yang terlihat suram. Pembangunan dan pelayanan pemerintahan yang kurang efektif, dan masih banyak masalah yang menimpa, termasuk peristiwa besar yang memilukan hati, konflik bersenjata di Aifat Selatan dan Aifat Timur yang menyebabkan banyak orang mengungsi.
Tapi, ada dua kebijakan yang menarik bagi masyarakat selama periode ini. Pertama, maraknya pemekaran kampung dengan menyediakan akses jabatan di kampung dan kelola dana yang besar. Kedua, penunjukan jabatan kepala kampung tanpa pemilihan langsung, kepada kroninya atau pendukung politik rezim saat itu. Walau bagi saya, kedua kebijakan tersebut telah menghadirkan kerusakan moral masyarakat kampung (baku tipu), memicu konflik dan keterpecahan sosial.
Baca Juga : Keluarga dan Politik Demokrasi di Papua
Namun, satu yang pasti kabupaten Maybrat dalam rentang 2011-2022 adalah periode kelam, bahkan jika dibandingkan dengan masa singkat kepemimpinan Pj. Bupati maybrat saat ini, jauh berbeda. Apa yang salah? Dan siapa yang bertanggung jawab pada periode kelam ini ? Menurut saya, menyalahkan pemimpin yang memimpin selama periode kelam ini, adalah naif. Karena kita sekedar melihat aktor, tanpa melihat sistem dan budaya politik yang membentuk aktor tersebut. Pada ulasan berikut, saya memberi jawaban atas pertanyaan; apa yang salah ? saya rasa pertanyaan ini jauh lebih penting dari sekedar pertanyaan; siapa yang salah ?
Bernhard E Rondonuwu vs Bernad Sagrim Â
Melihat keberhasilan Pj. Bupati Maybrat dalam waktu kepemimpinan yang singkat, rasanya membuat kita untuk membandingkan dengan kepemimpin Bernad Sagrim selama hampir 10 tahun sebagai bupati terpilih, hasil pilkada tahun 2011 dan pilkada tahun 2017. Tentu terlihat bahwa Pj Bupati, dengan waktu yang singkat, telah melakukan gebrakan yang luar biasa. Namun, membandingkan dengan bupati sebelumnya, tentu tidak seimbang, karena ada satu titik pijak yang beda. Pj bupati, ditunjuk tanpa proses politik seperti Bernand Sagrim. Artinya, Pj Bupati tidak punya beban politik seperti bupati sebelumnya. Sampai pada posisi ini, kita bisa mengerti alasan mengapa Pj.Bupati melakukan banyak terobosan bagi perbaikan dan kemajuan kabupaten Maybrat, karena ia tidak datang dari proses politik dan memiliki beban politik. Ada dua kata kunci di sini, yang akan saya ulas lebih lanjut ; Proses Politik dan Beban Politik.
Proses Politik dan Beban PolitikÂ
Bagi saya, kegagalan pemimpin hasil dua pilkada sebelumnya di kabupaten Maybrat, bukan persoalan kesalahan aktor (Dr. Bernad Sagrim) belaka, melainkan proses politik dan beban politik yang kita sama-sama hasilkan. Proses politik berkaitan dengan bagaimana kontestasi politik saat pilkada, isu kampanye, lawan politik, biaya politik dan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya beban politik. Beban ini sering ditanggung oleh pemimpin terpilih, akibatnya kepemimpinannya tidak maksimal.
Proses politik (kontestasi dalam pilkada 2017, misalnya). Isu kampanye dan pembelahan dalam masyarakat menjadi kelompok Ayamaru vs Aifat adalah satu dinamika yang seksis kala itu. Isu ini muncul di pilkada, bagi saya disebabkan oleh sentimen identitas, sekaligus siasat elit, yang terbungkus dengan perebutan letak ibu kota maybrat, hingga berlanjut ke dalam kontestasi politik pilkada 2017.
Baca juga : Melihat Misteri Hidup Papua Lebih Dekat Melalui Buku
Bagian ini, saya tidak mengurai banyak, karena saya percaya sebagain besar masyarakat maybrat, masih mengingat dinamika yang terjadi dalam pilkada 2017, atau pilkada 2011, serta implikasinya pasca pilkada. Â Implikasi politik pasca kontestasi pilkada, saya sebut dengan "beban politik" yang ditanggung oleh pejabat terpilih. Beban ini terwujud dalam sangsi politik kepada lawan politik, dan balas jasa kepada pendukung politik. Praktek ini mengabaikan aturan main dalam pemerintahan, juga menciptakan penyingkiran (diskriminasi kebijakan) terhadap sesama orang Maybrat. Sehingga fokus pada agenda perubahan dan pembangunan terabaikan.
Sehingga kita bisa lihat bahwa proses politik (pilkada) sangat penting dalam menentukan kualitas pemimpin daerah. Artinya, pemimpin yang buruk atau gagal, adalah produk dari proses politik dan budaya politik yang kita ciptakan sendiri. Jika membandingkan Bernad Sagrim selama hampir 10 tahun memimpin kabupaten Maybrat, Â dengan Pj Bupati saat ini, yang hanya memimpin kurang dari 3 tahun, Â sangat jauh perbedaannya. Ini bukan kesalahan aktor (Bernad Sagrim) saja, melainkan proses politik yang kita bentuk bersama, terutama dalam politik pilkada .
Catatan PenutupÂ
Saya pikir, apa yang telah ditunjukan oleh Benhard Rondonuwu, selama masa singkat menjadi PJ bupati Maybrat, telah membuat sebagian masyarakat, para birokrat, politisi dan intelektual maybrat, merasa puas, dengan catatan ada beberapa kekurangannya. Namun kepemimpin beliau jauh lebih baik dibanding rezim sebelumnya.
Pertanyaan pentingnya: Bagaimana nasib kabupaten Maybrat pasca kepemimpinan Benhard Rondonuwu ? Pertama, konflik bersenjata dan pengungsian, saya pesimis untuk siapapun kepala daerahnya, tidak bisa mengatasi persoalan tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan kekuatan dan kepentingan pusat, sekaligus nasionalisme Papua. Kedua, jawaban dari pertanyaan yang telah diajukan bergantung pada, jawaban dari pertanyaan lain : Bagaimana proses politik kita dalam pilkada tahun 2024 ?
Baca Juga : Tumbal Nasionalisme di Papua
Menurut saya, jika proses politik dalam pilkada tahun 2024 sama atau mirip dengan pilkada 2011 dan pilkada 2017, maka mengharapkan maybrat yang baik dan maju ke depan, atau mengharapkan pemimpin terpilih nanti seperti Pj Bupati saat ini, adalah "smi (bahasa Maybrat)" atau mimpi. Namun, untuk mengubah mimpi itu menjadi kenyataan, setidaknya proses politik (pilkada 2024) harus melalui jalan ini :
- Isu dan Sentimen Identitas. Jauhi isu dan sentimen identitas, konflik antara Ayamaru vs Aifat. Jika isu dan sentimen ini masih hidup seperti pilkada sebelumnya, kita hanya memutar waktu untuk kembali pada masa sebelum Benhard Rondonuwu datang ke bumi A3.
- Political Will. Untuk mewujudkan poin (sebelumnya), komitmen dan niat baik " Political will" itu dimulai dari politisi atau elit lokal maybrat yang bertarung. Jika elit masih memainkan isu dan narasi yang sama, dan memobilisasi masyarakat untuk mengikuti dan mendukung isu dan sentimen identitas. Maka, mengharapkan pemimpin seperti Pj Bupati saat ini, akan jadi hayalan kita bersama, atau kita hanya akan merindukan sosok Pj. Bupati saat ini  pasca pilkada 2024 nanti.
- Politik Alternatif. Perlu politik alternatif, baik itu datang dari elit politik (terutama Calon Bupati dan wakil dalam pilkada 2024), atau kaum muda terdidik untuk mengajak masyarakat maybrat pada " jalan alternatif " yaitu: Politik yang berbasis ide dan gagasan tentang kesejahteraan dan masa depan OAP, Politik yang berbasis pada identitas kolektif, sebagai orang Maybrat dan Papua, bukan terpecah dalam sentimen identitas partikular (kampungisme, atau Ayamaruisme dan Aifatisme), karena itu hanya buat "Kitong Bakali Sendiri". Politik alternatif seperti ini, tidak hanya menjadi retorika belaka elit lokal saja, tetapi menjadi komitmen politik dalam pilkada 2024.
- Kesadaran Masyarakat. Dengan pengalaman-pengalaman lalu, saya berharap ada kesadaran dalam masyarakat maybrat yang tumbuh, bahwa kitong bakalai sendiri (Misalnya ; Ayamaru vs Aifat) itu tidak penting. Jika ada elit politik yang menggerakkan isu dan sentimen identitas sepeti itu, jangan percaya. Karena itu adalah gerakan dan tindakan politik yang sia-sia bagi kebaikan bersama dan masa depan kitong orang asli Papua.
* Penulis adalah Putra Asli Maybrat, sekaligus Pengajar/Dosen di Universitas Nani Bili Nusantara (UNBN) Sorong, Papua Barat Daya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H