Sehingga kita bisa lihat bahwa proses politik (pilkada) sangat penting dalam menentukan kualitas pemimpin daerah. Artinya, pemimpin yang buruk atau gagal, adalah produk dari proses politik dan budaya politik yang kita ciptakan sendiri. Jika membandingkan Bernad Sagrim selama hampir 10 tahun memimpin kabupaten Maybrat, Â dengan Pj Bupati saat ini, yang hanya memimpin kurang dari 3 tahun, Â sangat jauh perbedaannya. Ini bukan kesalahan aktor (Bernad Sagrim) saja, melainkan proses politik yang kita bentuk bersama, terutama dalam politik pilkada .
Catatan PenutupÂ
Saya pikir, apa yang telah ditunjukan oleh Benhard Rondonuwu, selama masa singkat menjadi PJ bupati Maybrat, telah membuat sebagian masyarakat, para birokrat, politisi dan intelektual maybrat, merasa puas, dengan catatan ada beberapa kekurangannya. Namun kepemimpin beliau jauh lebih baik dibanding rezim sebelumnya.
Pertanyaan pentingnya: Bagaimana nasib kabupaten Maybrat pasca kepemimpinan Benhard Rondonuwu ? Pertama, konflik bersenjata dan pengungsian, saya pesimis untuk siapapun kepala daerahnya, tidak bisa mengatasi persoalan tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan kekuatan dan kepentingan pusat, sekaligus nasionalisme Papua. Kedua, jawaban dari pertanyaan yang telah diajukan bergantung pada, jawaban dari pertanyaan lain : Bagaimana proses politik kita dalam pilkada tahun 2024 ?
Baca Juga : Tumbal Nasionalisme di Papua
Menurut saya, jika proses politik dalam pilkada tahun 2024 sama atau mirip dengan pilkada 2011 dan pilkada 2017, maka mengharapkan maybrat yang baik dan maju ke depan, atau mengharapkan pemimpin terpilih nanti seperti Pj Bupati saat ini, adalah "smi (bahasa Maybrat)" atau mimpi. Namun, untuk mengubah mimpi itu menjadi kenyataan, setidaknya proses politik (pilkada 2024) harus melalui jalan ini :
- Isu dan Sentimen Identitas. Jauhi isu dan sentimen identitas, konflik antara Ayamaru vs Aifat. Jika isu dan sentimen ini masih hidup seperti pilkada sebelumnya, kita hanya memutar waktu untuk kembali pada masa sebelum Benhard Rondonuwu datang ke bumi A3.
- Political Will. Untuk mewujudkan poin (sebelumnya), komitmen dan niat baik " Political will" itu dimulai dari politisi atau elit lokal maybrat yang bertarung. Jika elit masih memainkan isu dan narasi yang sama, dan memobilisasi masyarakat untuk mengikuti dan mendukung isu dan sentimen identitas. Maka, mengharapkan pemimpin seperti Pj Bupati saat ini, akan jadi hayalan kita bersama, atau kita hanya akan merindukan sosok Pj. Bupati saat ini  pasca pilkada 2024 nanti.
- Politik Alternatif. Perlu politik alternatif, baik itu datang dari elit politik (terutama Calon Bupati dan wakil dalam pilkada 2024), atau kaum muda terdidik untuk mengajak masyarakat maybrat pada " jalan alternatif " yaitu: Politik yang berbasis ide dan gagasan tentang kesejahteraan dan masa depan OAP, Politik yang berbasis pada identitas kolektif, sebagai orang Maybrat dan Papua, bukan terpecah dalam sentimen identitas partikular (kampungisme, atau Ayamaruisme dan Aifatisme), karena itu hanya buat "Kitong Bakali Sendiri". Politik alternatif seperti ini, tidak hanya menjadi retorika belaka elit lokal saja, tetapi menjadi komitmen politik dalam pilkada 2024.
- Kesadaran Masyarakat. Dengan pengalaman-pengalaman lalu, saya berharap ada kesadaran dalam masyarakat maybrat yang tumbuh, bahwa kitong bakalai sendiri (Misalnya ; Ayamaru vs Aifat) itu tidak penting. Jika ada elit politik yang menggerakkan isu dan sentimen identitas sepeti itu, jangan percaya. Karena itu adalah gerakan dan tindakan politik yang sia-sia bagi kebaikan bersama dan masa depan kitong orang asli Papua.
* Penulis adalah Putra Asli Maybrat, sekaligus Pengajar/Dosen di Universitas Nani Bili Nusantara (UNBN) Sorong, Papua Barat Daya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H