Mohon tunggu...
Jonny Ricardo Kocu
Jonny Ricardo Kocu Mohon Tunggu... Dosen - Seorang Pengajar dan Penulis Lepas

Suka Membaca dan Menulis. Tertarik pada Politik & Pemerintahan, Sosial Budaya, dan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Keluarga dan Politik Demokrasi di Papua

19 Februari 2024   10:25 Diperbarui: 25 Februari 2024   14:00 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini mendiskusikan dan berupaya memberi jawaban, atas satu dilema yang problematik dalam era demokrasi elektoral, terutama dalam konteks orang Papua. Problemnya yaitu, orang-orang mendebatkan, sekaligus membenturkan: Kekeluargaan dan pilihan atau dukungan politik. Pembenturan ini menghadirkan dua pandangan. 

Pertama, kelompok yang menganggap bahwa keluarga harus mendukung dan memiliki keluarga yang menjadi calon legislatif (caleg) dalam pemilu 2024. Kedua, kelompok yang menganggap ini demokrasi -- kebebasan, jadi tidak harus mendukung dan memilih caleg yang ada ikatan keluarga (semarga atau sekampung).

Kelompok pertama, cenderung menghormati relasi kekeluargaan yang terbangun. Walau kalkulasi ekonomi politik, tidak menguntungkan, mereka-kelompok ini bisa dianggap preferensi dan dukungan politik tidak berbasis rasional-pragmatis (pertimbangan peluang menang, jabatan dan uang). 

Sedangkan, kelompok kedua cenderung rasional-pragmatis, mereka mengutamakan kualitas orang yang didukung dan kepentingan ekonomi politik, dibandingkan relasi keluarga atau kekerabatan di kampung. Artinya, kita bisa lihat bahwa nalar dan motif kedua kelompok ini cukup berbeda, dengan logika pembenarnya masing-masing.

Pada bagian berikut ini, saya akan mengurai terkait dua kelompok tadi, dalam beberapa sub pembahasan:

1). Kekeluargaan dan spirit kebersamaan 

Dalam sejarah peradaban orang Papua, perkembangan masyarakat masih pada tahap dimana orang-orang masih menghormati relasi-relasi sosial yang terbangun. Kesamaan marga, relasi perkawinan, tradisi (misalnya pertukaran kain timur), hak ulayat dan lainnya. 

Relasi-relasi ini menjadi basis penting kehidupan orang Papua, dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan religi. Modal-modal penyokong kehidupan, seperti saling membantu, menolong, kerja sama, gotong royong, menghargai dan menghormati dan beragam nilai-nilai hidup, tercipta melalui relasi sosial tadi. 

Integrasi dan solidaritas juga terbentuk melalui relasi seperti ini, bahkan pembentukan atau pemekaran kampung juga didasarkan pada basis relasi kekeluargaan dan kekerabatan (kepemilikan tanah adat)

Maka, melihat fakta tersebut, kita mudah mengerti bahwa relasi kekeluargaan (marga dan pertalian sosial lainnya) merupakan hal penting dan berharga bagi orang papua sejak dulu, sekarang dan kedepannya. Relasi-relasi tersebut merupakan kekuatan penting orang papua, dalam kehidupan komunalnya. 

Artinya, orang Papua cenderung menghormati nilai-nilai bersama, hal ini bisa dilihat dari kepemilikan tanah adat, secara umum, orang Papua mengenal tanah marga (kepemilikan kolektif), bukan tanah milik individu, pengecualian untuk kasus khusus, seperti hibah atau lainnya.

Poin inti pada bagian ini yang saya ingin katakana, bahwa orang Papua hidup dan mengutamakan kepentingan bersama (kolektif), yang didasarkan oleh marga, dan relasi sosial lainnya. Sehingga, nilai individualisme, jarang (sedikit) dikenali oleh masyarakat Papua. Nilai individualisme inilah, yang saya akan bahas pada poin berikut.

2). Pemilu dan spirit liberalisme (individualisme)

Pemilu legislatif dan pilpres 2024 telah selesai, kini kita menunggu hasil resmi dari KPU. Sejauh ini, hampir sebagain besar negara di dunia menganggap demokrasi adalah sistem dan nilai terbaik yang diterapkan dalam berbagai ruang, termasuk dalam ruang politik. 

Di Papua, di wilayah pegunungan Tengah menerapkan sistem noken dalam pemilihan, sebagian orang menganggap sistem ini tidak demokratis, terutama mengabaikan hak tiap individu. Sebenarnya, praktek ini menyelamatkan apa yang telah saya bahas di poin sebelumnya.

Yang perlu kita sadari bersama bahwa demokrasi yang kita anut ini, membawa spirit liberalisme ; One People, One Vote, One Value. Spirit ini menghormati hak dan kebebasan individu. Sehingga secara tak langsung mengancam kehidupan komunal orang Papua, yang mengutamakan nilai-nilai kebersamaan, dibanding nilai-nilai individu.

Artinya kehadiran demokrasi elektoral seperti pemilu, menghadirkan " Benturan nilai" dalam masyarakat. Kelompok yang menganggap dirinya masyarakat demokratis, akan mendukung demokrasi, yang mengutamakan hak dan kebebasan individu. 

Sebaliknya, kelompok yang mengedepankan nilai-nilai komunal dan kebersamaan, maka mereka berpegang pada pentingnya relasi kekeluargaan. Sehingga terlihat ada spektrum antara dua kelompok tersebut, pada sumbu yang berseberangan.

Jalan Tengah: Bagaimana seharusnya kita bersikap?

Jika melihat dua penjelasan di atas, kedua kelompok tersebut berpegangan pada logika pembenaran masing-masing. Sehingga, apa yang terbaik dan musti dilakukan, atau apa solusi yang tepat ? Saya secara pribadi, belum berani mengatakan bahwa mana yang benar, dan seharusnya kita dukung dari dua kelompok tersebut. Namun, dengan terpaksa saya akan menawarkan beberapa alternatif jawaban :

Pertama, memahami konteks dan konsekuensi. Kita perlu memahami konteks demokrasi. Jika pemilu dianggap ruang untuk mendelegasikan kedaulatan rakyat (kita) kepada anggota legislatif, yang nanti memperjuangkan aspirasi kita. Maka, memilih orang yang tepat dan layak perlu diletakan di depan, artinya bisa mengabaikan keluarga. Karena belum tentu, keluarga kita yang menjadi caleg secara kualitas dan kapasitas baik. Namun konsekuensinya, relasi sosial seperti keluarga bisa retak. 

Banyak riset atau tulisan yang telah mengulas bahwa pemekaran daerah (termasuk kampung di Papua), juga perta demokrasi : Pemilu dan Pilkada, telah turut mematik konflik dan keterpecahan sosial dalam masyarakat papua. Tetapi ini harga yang diterima, akibat datangnya nilai baru (demokrasi ala barat) dan ketidaksiapan kita -orang papua, untuk merespon nilai tersebut.

Kedua, memisahkan ruang. Poin ini mungkin tidak dianggap sebagai solusi. Namun saya tetap mengajukan sebagai petimbangan. Bahwa kita perlu membangun kesadaran dan memisahkan ruang. Antara ruang keluarga dan urusan public (politik). 

Pemisahan ruang ini, cukup berat, karena sebagian orang menganggap, kedua ruang ini memiliki hubungan, dan saling mempengaruhi. Namun, perlu pemaksaan akan kesadaran, agar kita menempatkan kedua urusan tersebut dalam ruang yang berbeda. Bahkan logika pembenaran politik demokrasi di satu tempat dan di tempat lain, diletakan ruang keluarga dan relasi sosialnya.

Ketiga, keluarga sebagai basis politik. Pada dasarnya sebagian besar orang Papua, bahkan Presiden Jokowi lakukan (secara tak langsung), anaknya bisa lolos dalam pencalonan dan berpotensi terpilih sebagai wakil presiden, menunjukan praktek keluarga sebagai basis politik. 

Di Papua kecenderungan ini sangat dominan, walau ada pengabaian terhadap keluarga dari kepentingan politik. Ketika memaksa keluarga (marga dan kerabat) sebagai basis politik, kita aka terjebak  dan jatuh pada praktek; nepotisme, politik identitas marga, dan sentimen kampungisme, yang akan mengancam demokrasi. 

Bahkan pemimpin politik, termasuk anggota legislatif yang kita pilih, karena basis kekeluargaan dan kekerabatan, kualitasnya belum tentu baik. Karena asumsi dasarnya, kita memilih orang yang memiliki kedekatan keluarga atau kerabat dengan kita, bukan melihat kualitas, visi dan program yang ditawarkan. Sehingga, mungkin kepentingan pribadi terpenuhi ketika kelurga kita memegang kekuasan, namun kepentingan publik akan menjadi bermasalah. Bahaya lain, Ketika satu marga berhasil secara politik keluarga, marga lain juga akan meniru, dalam skala tertentu, hal ini menciptakan keterpecahan dalam komunitas masyarakat, karena orang terfragmen dalam basis-basis marga atau kampungisme (identitas yang partikular dan sempit).

Catatan Penutup

Mengakhiri tulisan ini, saya mengajak kita untuk melihat benturan nilai dan konsekuensi dari memaksa satu nilai dibanding yang lain. Antara keluarga atau kepentingan politik (rasio-pragmatis), keduanya memiliki logika pembenaran masing-masing. Untuk itu perlu jalan tengah, untuk mengakomodasi kedua spektrum tersebut. 

Pertama, memahami konteks dan konsekuensi dari demokrasi. Kedua, memisahkan ruang keluarga dan politik demokrasi. Ketiga, memaksa keluarga sebagai basis politik, baik untuk kepentingan keluarga, tetapi buruk untuk demokrasi dan kebaikan bersama. Artinya perlu sikap kedewasaan dalam politik, agar praktek demokrasi tidak melemahkan relasi-relasi sosial. 

Sebaliknya, relasi-relasi sosial tetap dijaga, dan jangan dijadikannya sebagai basis politik, karena dalam kadar tertentu, kepentingan keluarga yang berada di ruang publik akan mengancam kebaikan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun