Artinya, orang Papua cenderung menghormati nilai-nilai bersama, hal ini bisa dilihat dari kepemilikan tanah adat, secara umum, orang Papua mengenal tanah marga (kepemilikan kolektif), bukan tanah milik individu, pengecualian untuk kasus khusus, seperti hibah atau lainnya.
Poin inti pada bagian ini yang saya ingin katakana, bahwa orang Papua hidup dan mengutamakan kepentingan bersama (kolektif), yang didasarkan oleh marga, dan relasi sosial lainnya. Sehingga, nilai individualisme, jarang (sedikit) dikenali oleh masyarakat Papua. Nilai individualisme inilah, yang saya akan bahas pada poin berikut.
2). Pemilu dan spirit liberalisme (individualisme)
Pemilu legislatif dan pilpres 2024 telah selesai, kini kita menunggu hasil resmi dari KPU. Sejauh ini, hampir sebagain besar negara di dunia menganggap demokrasi adalah sistem dan nilai terbaik yang diterapkan dalam berbagai ruang, termasuk dalam ruang politik.Â
Di Papua, di wilayah pegunungan Tengah menerapkan sistem noken dalam pemilihan, sebagian orang menganggap sistem ini tidak demokratis, terutama mengabaikan hak tiap individu. Sebenarnya, praktek ini menyelamatkan apa yang telah saya bahas di poin sebelumnya.
Yang perlu kita sadari bersama bahwa demokrasi yang kita anut ini, membawa spirit liberalisme ; One People, One Vote, One Value. Spirit ini menghormati hak dan kebebasan individu. Sehingga secara tak langsung mengancam kehidupan komunal orang Papua, yang mengutamakan nilai-nilai kebersamaan, dibanding nilai-nilai individu.
Artinya kehadiran demokrasi elektoral seperti pemilu, menghadirkan " Benturan nilai"Â dalam masyarakat. Kelompok yang menganggap dirinya masyarakat demokratis, akan mendukung demokrasi, yang mengutamakan hak dan kebebasan individu.Â
Sebaliknya, kelompok yang mengedepankan nilai-nilai komunal dan kebersamaan, maka mereka berpegang pada pentingnya relasi kekeluargaan. Sehingga terlihat ada spektrum antara dua kelompok tersebut, pada sumbu yang berseberangan.
Jalan Tengah: Bagaimana seharusnya kita bersikap?
Jika melihat dua penjelasan di atas, kedua kelompok tersebut berpegangan pada logika pembenaran masing-masing. Sehingga, apa yang terbaik dan musti dilakukan, atau apa solusi yang tepat ? Saya secara pribadi, belum berani mengatakan bahwa mana yang benar, dan seharusnya kita dukung dari dua kelompok tersebut. Namun, dengan terpaksa saya akan menawarkan beberapa alternatif jawaban :
Pertama, memahami konteks dan konsekuensi. Kita perlu memahami konteks demokrasi. Jika pemilu dianggap ruang untuk mendelegasikan kedaulatan rakyat (kita) kepada anggota legislatif, yang nanti memperjuangkan aspirasi kita. Maka, memilih orang yang tepat dan layak perlu diletakan di depan, artinya bisa mengabaikan keluarga. Karena belum tentu, keluarga kita yang menjadi caleg secara kualitas dan kapasitas baik. Namun konsekuensinya, relasi sosial seperti keluarga bisa retak.Â