Tahun 1998 saat krisis ekonomi terjadi, saya kena PHK dari perusahaan tempat saya bekerja. Pusing dan sedih tentunya, masih untung ada pesangon sepuluh bulan gaji, sepuluh bulan gaji itu karena masa kerja saya memang sudah sepuluh tahun.
Tentu saya rehat sejenak, memulihkan gengsi dan mengobati derita batin, mengembalikan rasa percaya diri, lalu kemudian berpikir, what next?
Dengan atau tanpa saya, roda kehidupan terus berputar. Usia yang sudah menanjak membuat sulit untuk melamar pekerjaan yang baru, lagi pula ke mana hendak melamar, semua usaha kacau balau saat itu. Lantas saya teringat dan terhibur, segepok pesangon sepuluh bulan gaji masih ada di bawah bantal, kalau bantalnya ikut dihitung, bertambahlah sedikit.
Begitulah ya, nasib susah ditebak. Tetangga tiba-tiba menawarkan gerobak jualannya ke saya, karena dia hendak pulang ke kampung halaman menjadi petani sayur katanya.Â
Gerobak untuk jualan pecel lele. Ok, tapi harganya sekian ya, kata saya, setuju dan deal, seminggu kemudian saya mulai berbisnis, jualan pecel lele mulai pkl 18.00 WIB sd 21.00 WIB, tempat jualan sangat bergantung pada satpol pp.Â
Jika mereka razia di jalan A, saya jualan di jalan B, jika razia di jalan B saya pindah ke C, jika kepergok tak bisa dihindari, saya tawarkan dua ekor lele goreng berikut sambal terasi yang sedap dan harum, tentu nasi dan es teh manis harus ikut. Itu jurus untuk selamat, dan biasanya memang selamat, hanya keuntungan yang menurun.
Jadi, pagi-pagi saya ke pasar membeli lele, bumbu untuk sambal terasi, beserta lalapan. Pulang ke rumah, membersihkan lele, mengulek sambal, membersihkan lalapan, mencuci piring dan gelas. Siang untuk memasak air minum, dan nasi untuk dijual.Â
Pkl 17.00 WIB mendorong gerobak ke tempat jualan, menggelar tenda, meja dan kursi untuk makan, memasang tungku. Siap menerima pelanggan, siap menampung pemasukan.
Pkl 21.30 gulung tenda, gerobak dorong pulang. Di rumah, gelar tikar, hitung pemasukan. Setelah dikurangi dengan modal bahan-bahan, dikurangi juga dengan penyusutan asset gerobak, maka yang tersisa adalah keuntungan, upah dari semua keringat yang menetes hari itu, lumayan dari pada menganggur dan meratap.
Sambal terasi saya sangat enak, itu kata pelanggan ya. Buktinya pelanggan makin banyak, syukurlah. Tapi kini saya kewalahan melayani.Â