Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saatnya Membuang WTP dan Serapan Tinggi Sebagai Parameter

26 Oktober 2017   14:13 Diperbarui: 26 Oktober 2017   14:19 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sedikit membingungkan, kenapa dua minggu sejak dilantik Gubernur DKI lebih banyak menyinyiri gubernur sebelumnya dibandingkan mulai menuntaskan pemenuhan terhadap janji-janji kampanye. Tetapi ya sudahlah, nyinyir juga toh sebentuk hak asasi.

Seseorang yang hendak mencalonkan diri pada pilkada Gub.Jabar nanti toh juga nyinyir terhadap Gubernur DKI sebelumnya. Tak ada bukti nyata prestasi, toh tidak pernah memperoleh status WTP (Wajar Tanpa Syarat) dari BPK, katanya. Dua hal yang menjadi penilaian keberhasilan kepDa adalah perolehan status WTP dan daya serap anggaran yang tinggi, DKI tidak memperoleh keduanya, begitu ditambahkan orang yang hendak mencalonkan diri pada pilkada Jabar nanti.

Dua syarat yang disebutkan itu menghentak urat kesadaran saya, dan lantas menggiring opini menuju sebuah kesimpulan fatal, pantaslah banyak kepda yang korupsi bahkan tertangkap tangan oleh KPK. Mereka ingin menghabiskan anggaran?

Gubernur DKI yang baru dilantik juga telah melontarkan komitmen untuk berupaya keras memperoleh status WTP dan meningkatkan daya serap anggaran setinggi-tingginya.

Dua syarat yang disebutkan itu, terlihat tidak begitu berkaitan dengan kepentingan rakyat pemilih. Kenapa?

'1. Status WTP dan Realitas

Tentu status WTP itu bagus dan perlu, tetapi itu jika institusi yang berhak memberikan status WTP adalah institusi bersih yang layak dipercayai, dan kredibilitasnya tinggi sekali.

Pemda Sumatera Utara memperoleh status WTP, pada saat yang sama Gubernur dan wakil gubernur sedang diperiksa KPK atas tuduhan korupsi. Pemda kabupaten memperoleh status WTP, sesaat kemudian bupati tertangkap pada OTT yang dilakukan KPK. Propinsi yang gubernurnya sudah diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan sedang menjalani masa tahanan, ajaib sekali daerah itu memperoleh status WTP.

Dan yang paling membuat kredibilitas hancur adalah tertangkapnya pegawai institusi yang bersangkutan saat sedang memperjualbelikan status WTP. Hancur leburlah sudah.

Selembar surat keputusan tentang status WTP menjadi sangat jauh dari realitas, tidak berguna, jauh dari kepentingan rakyat pemilih. Lalu, untuk apa?

'2. Daya Serap Anggaran dan Realitas

Daya serap anggaran tampaknya berkaitan hanya dengan habisnya APBD, bukan tentang terwujudnya program. Selalu tersedia anggaran revitalisasi dan kebersihan sungai, saban tahun sungai tetap jorok dan bau, tetapi anggaran habis. Selalu tersedia anggaran penghijauan, perawatan, dan perbaikan taman-taman, meski anggaran habis tetapi tetap saja taman-taman pada kotor dengan bunga yang gersang dan cat-cat yang mengelupas.

Selalu tersedia anggaran untuk membantu orang mengentaskan diri dari kemiskinan, meski anggaran habis malah orang miskin bertambah banyak. Meski anggaran habis, jalan tetap berlubang dan berkubang, lampu jalan tetap kerlap-kerlip redup di malam hari. Selalu tersedia anggaran subsidi pendidikan dan jumlahnya besar, tetapi meski setiap tahun anggaran habis, selalu saja angka putus sekolah bertambah dan bertambah.

Heboh tentang UPS, yang anggarannya ratusan miliar rupiah, yang tendernya gelap gulita, dan barangnya tidak dibutuhkan sama sekali oleh sekolah, terutama sekolah tidak pernah mengajukan kebutuhan akan UPS, menjadi salah satu contoh yang sangat baik bahwa habisnya anggaran tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat pemilih.

Oho, kalau soal menghabiskan uang, mungkin sayalah juaranya. Lauk makan siang adalah ikan piranha bakar ditambah sup sirip hiu, makan malam dihidangi menu kaviar dan lobster di hotel bintang tujuh, habislah sekian puluh juta per hari hanya untuk makan. Daya serap anggaran saya sangat tinggi bukan?

'3. Kontradiksi dan Realitas

Nah, dalam hal ini, Gubernur DKI sebelumnya (BPT) menjadi kontradiksi yang sangat ironis. Hanya orang yang berpikiran naf saja yang tidak mampu mengakui bahwa pada periode BPT sungai-sungai menjadi lebih bersih, trotoar juga lebih rapi, pembangunan infrastruktur perlalulintasan lebih massif, subsidi pendidikan lebih kena sasaran melalui KJP, tunjangan kesejahteraan karyawan pemda lebih mensejahterakan, banjir lebih terkendali, lurah-lurah sudah ngantor pada pkl 08.00 WIB, pelayanan birokrasi meski belum sempurna tetapi naf untuk tidak mengakui bahwa pelayanan itu sudah lebih baik dari sebelumnya.

Itu semua adalah realitas,tetapi sangat kontradiktif dengan kenyataan bahwa semua itu dicapai justru pada saat serapan anggaran jauh lebih rendah dari sebelumnya, dan tidak memperoleh status WTP dari institusi terkait.

Masihkan kita harus bertahan pada paradigma bahwa Kepala Daerah yang baik dan berhasil itu adalah jika daerahnya memperoleh status WTP dan serapan anggarannya tinggi?

'4. Ganti Parameter

Tiba saatnya untuk mencampakkan parameter status WTP ke tumpukan sampah, dan menyingkirkan parameter serapan anggaran ke kubangan lumpur, menggantinya dengan parameter yang secara langsung berdampak nyata terhadap kepentingan rakyat.

Sungai yang lebih bersih dari sebelumnya, taman yang lebih asri dari sebelumnya, jalan raya yang lebih mulus dari sebelumnya, birokrasi yang lebih responsif dari sebelumnya, Indeks Pengembangan Manusia (IPM) yang lebih baik dari sebelumnya, kesejahteraan rakyat yang lebih tinggi dari sebelumnya, level dan sebaran banjir yang lebih terkendali dari sebelumnya, pasar tradisional yang lebih bersih dari sebelumnya, itu sebagai beberapa contoh.

Kalau tidak, WTP berubah arti menjadi Wajar Tanpa Prestasi, serapan tinggi identik dengan korupsi tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun