Proses hukum tuntas sudah, vonis dua tahun sudah diputuskan, yang memutuskan adalah orang-orang yang ditugaskan untuk itu dan terutama dipercayai. Maka, sebagai warga Negara Indonesia, wajib dan merupakan keharusan untuk menghormati apapun keputusan tersebut, sebab begitulah kita bersepakat.
‘1. Hukum dan Keadilan
Hukum, seburuk apapun harus ditegakkan, jika tidak maka lebih baik Negara bubar. Bahkan, hukum yang buruk yang ditegakkan dengan cara yang benar, masih lebih baik dari hukum yang baik yang ditegakkan serampangan penuh intervensi. Tegaknya hukum tidak serta merta bahwa keadilan juga tegak. Hukum melulu hanya berkaitan dengan proses, bukti, argumentasi, pasal-pasal, ruang sidang, azas formalitas, dan lalu keputusan. Pada logo tentang hukum, mata sang dewi ditutup, penyebabnya ya itu.
Mengharapkan setiap proses hukum bebas dari intervensi adalah utopia, itu mimpi. Intervensi bisa datang dari sudut mana saja, dari pihak siapa saja, terutama datang dari tangan-tangan gelap yang beroperasi senyap, istilah kerennya invisible hand. Di dunia ini, tidak ada sebuah Negara, semaju apapun Negara itu, yang proses hukumnya murni seratus persen bebas dari intervensi.
‘2. Ultra Responsif
Maka saya sedikit bingung, mengapa vonis dua tahun itu harus ditangisi oleh satu pihak, dan pihak lain merayakannya. Satu pihak terlalu sedih, satu pihak lagi mengalami euforia kegembiraan berlebih, aneh bin ajaib. Ahok lovers dan Ahok haters, keduanya menunjukkan karakter ultra responsif.
Ahok menegaskan bahwa apapun putusan hukum dia akan menghormatinya, untuk sikap ini sayasalut seratus persen. Mestinya sikap seperti ini juga menjadi acuan bagi semua Ahok lovers, dan sikap seperti ini semestinya membangkitkan rasa hormat pada Ahok haters. Tetapi itu memang membutuhkan mata yang terbuka dan rasio yang masih berfungsi normal.
Dari yang saya amati, dan lalu saya bandingkan dengan kasus lain, saya begitu yakin Ahok tidak akan jatuh karena vonis tersebut. Bandingkan dengan orang lain, tertuduh korupsi langsung melarikan diri, bahkan ada yang langsung mati. Tertuduh lainnya mangkir dengan sangat banyak alasan, alasan kesehatan, alasan ibadah, alasan yang dikarang-karang dengan sangat jitu. Ahok satu-satunya tertuduh yang dengan penuh komitmen dan tanggung jawab tidak pernah mangkir terhadap panggilan pemeriksaan dari kepolisian, meski sesungguhnya Ahok bisa mencari ribuan alasan untuk mangkir. Siapa tertuduh lain yang keberaniannya setara Ahok?, yang ketulusannya menghormati hukum sederajat dengan Ahok?, tidak ada sama sekali. Bagi saya, itulah kejantanan yang sungguh-sungguh jantan.
Jika seorang Ahok tidak akan jatuh oleh vonis itu, lantas bagaimana mungkin vonis itu mengancam keutuhan NKRI?, apakah cukup satu vonis untuk menyimpulkan bahwa hukum telah ambruk? …. ada-ada saja.
‘3. Kesetaraan Hukum
Saat ini, tolong jangan memparalelkan hukum dengan keadilan. Peradaban kita belum sampai ke situ, masih jauh. Kita harus mengakuinya dengan jujur dan legowo bahwa begitulah adanya. Pengakuan baik bagi jiwa, tanpa pengakuan tidak ada pertobatan. Jadi, terserah betul atau tidak, adil atau tidak, karena intervensi atau tidak, ada petimbangan politis atau tidak, karena vonis telah turun, karena palu sudah diketok, maka sebagai WNI mari kita membiasakan diri menghormatinya, semua WNI tanpa kecuali.
Peradaban kita yang masih tertinggal ini, mari kita akui. Itu membuat bahwa kita hanya bisa menuntut keadilan dalam bentuk lain, yaitu kesetaraan. Mari dengan legowo kita terima bahwa keadaan kita baru sampai di situ saja.
Banyak kasus-kasus sejenis penistaan agama lain yang kini mengambang dan mengapung, samar dan sumir. Itulah yang perlu diminta dan dituntut agar pemerintah memperlakukan sama bagi seluruhnya, setara dan sederajat, hanya itu. Banyak khotbah-khotbah yang menistakan agama lain, semua harus diperlakukan sama seperti perlakuan terhadap Ahok, itulah kesetaraan.
‘4. Preseden Hukum
Di dalam hukum ada istilah preseden, dan Ahok dapat menjadi preseden positip untuk masa depan, jika bangsa ini memang memiliki kemauan belajar dari sejarah. Pemerintah melalui lembaga hukum kini mempunyai acuan untuk memperlakukan dan menindak dengan cara yang sama, semua orang yang mengkhotbahkan penghinaan terhadap agama lain, semua ujaran yang menghina agama lain, dan semua tindakan yang menghina agama lain. Kita perlu melihat dan menunggu, apakah amunisi yang sudah tersedia ini, pemerintah dan lembaga hukum memiliki kemauan dan keberanian untuk menembakkan amunisi yang sama ke semua pihak yang menghina dan menistakan agama lain. Kita perlu sabar untuk itu.
‘5. Proses Glorifikasi
Saya memutuskan untuk percaya bahwa amunisi yang sudah tersedia melalui proses hukum terhadap Ahok, pemerintah akan menggunakannya sebaik dan seefisien mungkin. Maka saya menjadi percaya, vonis dua tahun tidak menakutkan buat Ahok, tetapi mengerikan buat pihak lain yang sering melakukan tindakan penistaan agama lain. Semua orang yang gemar menyiarkan dan menyuarakan kebencian terhadap umat agama lain, kini tidak memiliki alasan lagi untuk menolak proses hukum terhadap ujaran dan khotbahnya. Vonis terhadap Ahok menempatkan orang-orang ini pada kubangan kesulitan.
Melihat karakter Ahok sejak kasus penistaan digulirkan, saya menyimpulkan bahwa vonis dua tahun adalah sebuah proses menuju glorifikasi diri. Kini, generasi muda bangsa ini memiliki seorang figur yang patut menjadi contoh tentang “menghargai hukum”, sesuatu yang tidak pernah mereka dapatkan selama ini. Bahkan yang selalu mereka lihat, para generasi muda itu, adalah ironi, ucapan dan tindakan yang bertolak belakang. Katakan tidak pada korupsi, tetapi yang dilihat oleh generasi muda itu adalah korupsi besar-besaran dan sangat massif.
‘6. Kesimpulan
Vonis dua tahun justru sangat membangkitkan harapan di masa depan, dan Ahok menjadi inspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H