Dua serangan bom terpisah di Mesir, pertama di gereja Mar Girgis di Kota Tanta, dan kedua di Gereja Katedral Santo Markus di Alexandria. Sedikitnya 43 orang umat yang sedang khidmat merayakan Minggu Palma tewas seketika dan lebih dari 100 orang luka-luka. NIIS mengklaim bertanggung jawab atas kedua serangan itu.
Serangan yang menghancurkan tubuh, memisahkan tangan dari badan, menghancurkan kepala hingga berkeping-keping, cipratan darah ke segala penjuru, menakutkan dan mengkerutkan nyali. Tetapi saya bersimpuh di dalam doa, semoga bom itu tidak melukai iman dan keyakinan. Keteraniayaan bisa menjadi jalan untuk memperkokoh, memperkuat dan lebih mempersatukan, mempertebal kepercayaan.
‘1. Sumber Ide dan Gagasan
Meski terjadi di Mesir, ribuan kilometer dari NKRI, tetapi bom itu dapat menjadi pil perangsang di sini, trigger pemicu ide untuk tindakan yang sama. Seluruh detil peristiwa, bagaimana pelaku menjalankan terror dan seperti apa derita dari korban, efek kekalutan dan kecemasan massal, hanya dalam selang beberapa menit sudah tiba di sini, di negeri yang berpancasila ini, sudah bisa ditonton umat di seluruh dunia.
Kabar buruk bagi orang lain dapat menjadi berita gembira bagi yang lain, terutama bagi mass media, bad news is a good news, sumber uang. Tidak mungkin berharap seluruh umat manusia berduka cita atas korban, tidak mungkin. Lebih tidak mungkin berharap seluruh umat manusia mengutuk terror itu, tidak akan. Selalu ada, bahkan sangat banyak, yang bersyukur dan bergembira-ria terhadap terror tersebut. Media sosial menunjukkan dengan sangat baik, bahwa banyak yang sangat gembira terhadap terror tersebut.
Tetapi yang mencemaskan bukanlah kegembiraan sekelompok manusia atas terror tersebut, bukan itu. Tetapi yang mencemaskan adalah terror itu menjadi pemicu ide dan gagasan, memantik hasrat dan nafsu, utnuk melakukan tindakan yang sama di sini, di negeri yang berpancasila ini.
Dan, yang saya cemaskan itu terutama adalah negara ini, keselamatan dan keberlanjutan NKRI ini (yang kita cintai ini ????). Mesir mempunyai mekanisme yang baik dan aparat yang memiliki keberanian yang cukup untuk mengelola konflik seperti ini, sementara di sini di NKRI ini, akan selalu lahir politikus yang memanfaatkan situasi seperti ini demi kepentingan hasrat memusatkan kekuasaan pada diri sendiri dan atau pada kelompok sendiri, atau menggulingkan kekuasaan yang sah pilihan rakyat.
‘2. Tidak Menyalahkan Agama
Meski NIIS mengklaim bertanggung-jawab, ayolah, kalian para umat yang seiman dengan korban bom itu, jangan serta-merta menyalahkan agama tertentu. Memaafkan, mengampuni, dan lalu mendoakan, begitulah inti sari ajaran Yesus Kristus yang kalian imani, dan inilah momentum terbaik untuk menunjukkan bahwa kalian betul-betul mengimani ajaran agung yang sangat mulia itu, ajaran agung yang tiada duanya, yang akan abadi sepanjang masa, sebab begitulah kebutuhan dasar setiap manusia, apapun agamanya, bahkan kebutuhan bagi yang tidak beragama sekalipun.
Barang siapa mengatakan kafir pada yang lainnya, dia layak dilemparkan ke api yang menyala-nyala. Barang siapa yang tidak memaafkan, maka Bapa di surga tidak akan memaafkannya. Barang siapa yang tidak mengampuni, Bapa di Surga tidak akan mengampuninya. Memaafkan dan mengampuni, adalah hal yang membedakan yang beriman dengan yang tidak beriman. Bukankah seperti itu yang diajarkan Yesus Kristus yang kalian imani itu?.... tunjukkan. Memaafkan, mengampuni, dan mendoakan, tampaknya menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian dunia yang abadi, perdamaian yang didasarkan pada kesetaraan.
‘3. Pengakuan
Katanya, sekali lagi katanya, agama itu rahmat bagi umat manusia, semua agama mengajarkan kasih, dan seterusnya dan seterusnya rangkaian kalimat yang indah dan memabukkan. Lebih mudah bagi saya untuk mempercayainya dari pada mencari alasan untuk membantahnya. Sepakat bahwa semua agama mengajarkan cinta kasih.
Tetapi pengakuan bahwa semua agama mengajarkan cinta kasih tidak lantas membuat kita mengingkari realitas bahwa manusia bisa salah memahami, ahli-ahli kitab suci yang juga manusia itu bisa salah menafsirkan, pemimpin umat yang manusia itu bisa salah mengkhotbahkan, umat yang manusia itu bisa salah mendengar dan memahami khotbah, kesalahan yang tidak disengaja, atau kesalahan terencana untuk maksud atau tujuan tertentu.
Mari asah keberanian, berani mengajukan pertanyaan “mengapa agamaku sering disalah gunakan, mengapa begitu sering terror mengatasnamakan agamaku, apa yang salah dengan khotbah-khotbahku”, dan dengan tulus dan berani menelusuri jawaban atas pertanyaan itu. Pengakuan adalah baik bagi jiwa, tanpa pengakuan tidak ada perubahan.
Sejuta kali berteriak “agamaku tidak mengajarkan terror seperti itu” untuk sejuta terror-teror di bumi yang mengatasnamakan agama, adalah teriakan yang tidak berguna dan tidak akan mengubah apapun, terror akan tetap berlanjut, makin sering dan makin ganas. Tanpa keberanian melakukan tindakan untuk merivew ke dalam diri, meninjau ke dalam hati, terror akan berlanjut, dan makin brutal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H