Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pembangunan Infrastruktur dan Pembangunan Manusia

7 April 2017   15:17 Diperbarui: 7 April 2017   23:00 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Selama masa kampanye pilkada DKI, banyak tuduhan terhadap pasangan petahana Basuki – Djarot bahwa petahana terlalu fokus pada pembenahan infrastruktur dan melupakan pembangunan manusia. Meski petahana dapat dengan mudah membantah tuduhan, dengan data lengkap pula, tetapi tuduhan itu dapat saja mencerminkan “salah lihat” atau bahkan mungkin saja “salah paradigma”.

Kecaman yang sama sering juga ditujukan terhadap pemerintahan Jokowi. Bahwa pemerintah terlalu fokus pada pembangunan jalan raya umum, pelabuhan, jalan tol, bandar udara, rel kereta api, bendungan, pembangkit listrik, dan lain-lain.

Tetapi, kita perlu mencoba melihat dari sisi lain, agar cara kita melihat sesuatu tidak melulu melalui kacamata kuda.

1. Kesalingterkaitan

Pada skala nasional, pembangunan manusia tentu saja dilakukan melalui “sistem pendidikan nasional”, dan salah satu elemen nyata dari pendidikan nasional itu adalah “sistem persekolahan”.  Pada titik inilah perjumpaan mesra antara “infrastruktur dan pengembangan manusia”.

Agar anak bangsa bisa bersekolah, tentu harus tersedia gedung sekolah, maka pemerintah wajib membangun gedung sekolah yang baik, nyaman, dan aman. Agar anak bangsa bisa pergi ke sekolah dengan aman dan nyaman, maka perlu tersedia sistem transportasi yang lancar sehingga anak bangsa tiba tepat waktu di sekolah. Sistem transportasi itu adalah jalan raya, moda transportasi (alat angkut semua jenis), dan segala peraturan sistem perlalu-lintasan.

Orang Jakarta pasti tidak mampu membayangkan anak-anak papua yang penuh perjuangan hanya sekedar untuk tiba di sekolah dengan selamat. Menyeberangi sungai deras, naik sampan kecil, mendaki gunung melintasi hutan, menyeberangi jembatan gantung, dan lain-lain. Orang Jakarta juga tidak percaya bahwa di papua ada Sekolah Dasar yang satu tempat dengan kerbau. Siang jadi tempat belajar, malam jadi kandang kerbau.

Agar anak bangsa bisa belajar dengan baik dan fokus, kecukupan gizi harus terpenuhi. Salah satu caranya adalah dengan membangun infrastruktur perpanganan yang lancar dan baik. Pada infrastruktur perpanganan itu tercakup mulai dari sistem irigasi (perlu bendungan), sistem perbenihan, ketersediaan pupuk, kendali pasca panen, dan infrastruktur agar hasil panen bisa disebarkan ke seluruh pelosok negeri dengan biaya logistik yang paling efisien.

Sulit membayangkan “sistem persekolahan” tanpa dukungan listrik yang terjamin pasokannya. Nah, lihat, bahwa pembangunan pembangkit listrik besar-besaran itu beririsan dengan usaha pembangunan manusia.

Kalau semua kesalingterkaitan itu hendak dituliskan di postingan ini, maka pembaca kompasiana pasti bosan.

2. Keserentakan

Lantas, apakah ada yang harus diprioritaskan, yang mana yang harus didahulukan, mana yang dinomorsatukan. Saya pikir jawabannya “tidak ada”. Pembangunan infrastruktur dan Pembangunan Manusia mesti serentak, serempak, seirama, sederap selangkah. Ketersediaan infrastruktur yang baik sangat membantu meningkatkan Pembangunan Manusia, dan Pembangunan Manusia yang menghasilkan manusia-manusia yang berkompeten sangat diperlukan untuk meningkatkan mutu infrastruktur, demikian terus berputar-putar saling mendukung dan saling menguatkan. Orang-orang menyebut siklus seperti itu dengan istilah “kontinum pertumbuhan”. Jika Kontinum Pertumbuhan itu sudah mencapai tahap siklik, wow…. Menjadi bangsa yang besar, kuat, berpengaruh, dan disegani bukan lagi utopia.

3. Bahaya Laten

Jika pembangunan infrastruktur dinomorsatukan, Pembangunan Manusia tergeser ke level kedua, maka yang kita tuai adalah infrastruktur yang terbengkalai. Bendungan tidak terawat, jalan raya tidak terpelihara, pelabuhan tidak terkelola, bandar udara semrawutan, jalan raya bahkan bakal berubah menjadi tempat penjagalan, itu karena semua menyerobot apa saja.

Kapal yang berlabuh dipelabuhan adalah kapal-kapal asing, pesawat yang mendarat di bandara udara adalah pesawat-pesawat milik maskapai asing, truk-truk container yang melintas di jalan tol adalah milik perusahaan-perusahaan asing, dan semua pesawat itu dipiloti pilot asing.

Saat saya melintas di jalan tol Jakarta, arus lalu lintas tersendat karena banyaknya truk container yang bergerak lambat. Arus lalu-lintas yang tersendat itu memang masalah, tetapi bukan itu masalah yang paling mengerikan. Truk container itu milik pengusaha Korea, truk buatan Korea, mengangkut hasil produksi dari perusahaan di Cikarang milik pengusaha Korea, hasil produksi itu hendak dikirim ke pelabuhan Tanjung Periok untuk diekspor dengan menggunakan kapal tanker milik pengusaha Korea, dan seluruh uang hasil ekspor ditransfer ke Bank Korea, semuanya dibawah jaminan asuransi milik pengusaha korea. Hal seperti ini bisa terjadi, dan itu mengerikan.

Tetapi jika Pembangunan Manusia dinomorsatukan, infrastruktur bergeser ke prioritas kedua, maka yang kita tuai adalah gerombolan pengangguran intelektual berpendidikan tinggi. Pengangguran intelektual berpendidikan tinggi jauh lebih berbahaya dari pengangguran tidak berpendidikan. Kejahatan yang dapat dilakukan pengangguran intelektual, cakupannya berskala transnasional, paling tidak berskala nasional.

Jadi, mari kita lakukan serentak, serempak, seirama, seiring sejalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun