Dugaan korupsi pengadaan KTP-el itu menyentak jiwa dan nurani, bagi orang yang memang masih memilikinya. Sentakan pertama ditimbulkan oleh jumlah uang yang digaruk dan menjadi kerugian Negara, dan sentakan kedua yang paling keras adalah karena begitu banyak peluang yang mendadak hilang lenyap yang disebabkan skandal pengadaan KTP-el.
Indikasi adanya masalah pada pengadaan KTP-el sudah terlihat sejak awal. Indikator paling mudah terlihat, bagi yang sudah memiliki KTP-el, adalah tidak ada perbedaan fungsi KTP-el dengan KTP yang dicetak di kertas. Ternyata KTP-el tidak bisa dibaca secara elektronik. Jadi orang tetap harus mengisi data secara manual, pada saat mengurus segala macam urusan yang memerlukan data diri. Nama “KTP-Elektronik” sepertinya sudah diset sejak awal dengan tujuan untuk mengelabui. Niat untuk korupsi sudah ada bahkan sejak memilih nama proyek, luar biasa.
Kalau kini kita ribut karena kerugian Negara yang hampir 2,3 triliun rupiah itu, itu menunjukkan bahwa kita menilai sesuatu melulu hanya dari nilai rupiahnya saja. Pada hal sesungguhnya kerugian yang timbul jauh lebih besar dari nilai uang yang digaruk yang menjadi kerugian Negara itu.
‘1. Kerugian Karena Hilangnya Peluang
Apa saja peluang besar yang dapat kita raih, seandainya kita memiliki basis data kependudukan yang valid, dan selalu ter up-date?
‘A. Tentang Pajak dan Sumber Keuangan Negara
Ibu Sri Mulyani pernah berkata, seandainya rasio pajak mencapai 20% (kini 11%), maka kita tidak membutuhkan pinjaman Luar Negeri. Bisa anda bayangkan apa yang bisa kita lakukan seandainya rasio pajak mencapai 30%?
Basis data kependudukan yang valid dan ter up-date akan sangat memudahkan pemerintah dalam mengidentifikasi WP (Wajib Pajak) pribadi, dan karena itu membuka kemungkinan meningkatkan rasio pajak dari kini 11% menjadi 20% atau bahkan 30%. Kini peluang itu lenyap sudah.
Basis Data kependudukan yang valid dan ter up-date akan sangat memudahkan pemerintah mengidentifikasi transaksi keuangan yang gelap, memudahkan untuk mengidentifikasi aksi pencucian uang, dan karena itu memudahkan pemerintah memberantas korupsi dan transaksi keuangan illegal lainnya. Peluang ini juga lenyap sudah.
‘B. Tentang Kemanan Negara
Basis Data kependudukan yang valid dan ter up-date memudahkan pemerintah mengidentifikasi penduduk gelap (illegal) dan tenaga kerja illegal.
Basis data yang baik juga memudahkan pemerintah mengidentifikasi penyebaran paham-paham radikal, mengidentifikasi rencana terror dan karena itu dapat mencegahnya.
Basis Data kependudukan yang valid dan ter up-date memudahkan pemerintah mengidentifikasi pelaku tindakan kriminal, mengidentifikasi bandar dan geng narkoba.
Peluang yang menjadi binasa dan hilang lenyap.
“C. Efektifitas dan Efisiensi Program Pemerintah
Basis Data kependudukan yang valid dan ter up-date memudahkan kita menyusun DPT (Daftar Pemilih Tetap) kapanpun diperlukan. Hal yang mebingungkan saat ini adalah, kenapa setiap menjelang pileg, pilkada, atau pilpres, kita harus selalu membuat DPT dari awal. Menyusun DPT itu memerlukan biaya yang banyak.
Basis Data kependudukan yang valid dan ter up-date memudahkan pemerintah mengidentifikasi siapa saja rakyat yang memerlukan bantuan atau subsidi, dan dengan begitu segala bentuk bantuan atau subsidi dari pemerintah mengalir ke orang-orang yang betul-betul membutuhkannya, tepat sasaran. Kini peluang itu sudah binasa.
Sesungguhnya masih sangat banyak peluang kemajuan yang menjadi sirna hanya karena kasus KTP-el ini. Tetapi hanya dengan menyebutkan kehilangan peluang dari poin A, B, dan C di atas, anda sudah bisa membayangkan berpa nilai dari semua peluang yang hilang itu?, tak berhingga saudara.
‘2. Ide Besar yang Terlewatkan
Kabarnya Ahok menentang proyek KTP-el, dan alasannya logis, sederhana dan tepat sasaran. Mengganti KTP dari kertas menjadi plastic masak sih membutuhkan biaya sampai 6 triliun?, itu salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Ahok, dan dia betul.
Bandingkanlah fungsi KTP-el yang kau punya dengan kegunaan kartu ATM yang juga kau miliki, ibarat neraka dan surga. Bagaimana tidak?. KTP-el yang kau pegang itu membuat Negara harus merogoh kocek senilai 6 triliun rupiah, sementara kartu ATM-mu itu kau dapatkan cukup dengan membuka rekening di Bank bersangkutan, dengan setoran awal hanya 50 ribu rupiah, dan uang yang kau setor itu tetap menjadi milikmu, artinya ATM-mu itu sebenarnya gratis.
Maka Ahok mengusulkan ide yang tampak sederhana, pengadaan KTP-el diserahkan ke Bank daerah, atau ke Bank pemerintah seperti BRI. Selain penghematan uang Negara, sekaligus juga hal itu membuat likuiditas Bank daerah atau Bank pemerintah melimpah ruah.
Ini ide besar yang sangat baik, dan sangat layak dilakukan. Masalahnya, jika ide Ahok ini direalisasikan, maka tidak ada proyek yang bisa dirampok bersama-sama, tidak ada proyek bancakan. Hanya itu alasannya ….
‘3. Kecemasan Akibat Teori Gunung Es
Puncak es yang terlihat kecil di permukaan air laut, meski kecil, itu sudah mencemaskan para nahkoda kapal laut. Sebabnya, yang terlihat kecil itu hanya puncak dari sebuah gunung es raksasa, yang bagian terbesarnya terbenam di bawah permukaan laut. Gunung es menjadi ancaman keselamatan pelayaran di laut.
Kasus pengadaan KTP-el, apakah sesuai dengan teori gunung es?, astagaaa…. Mengerikan sekali.
Dan kita masih bisa menyebut banyak sekali kasus mega skandal. Hambalang, 12 proyek pembangkit listrik yang mangkrak, Pelindo II, bobolnya Bank Century, Petral, daging sapi impor, BLBI, nilai subsidi BBM yang mendadak menggelembung, dan seterusnya.
Tampaknya teori gunung es tetap sah, dan itu sangat mengerikan. Bayangkan jika puncak kecil itu bernilai 2,3 triliun rupiah, lantas berapa nilai dari gunung es yang terbenam di bawah permukaan itu?, astagafirullah dan ajaibullah
‘4. Keruntuhan Moral
Berita di media TV, Koran, media on-line, saat ini didominasi oleh berita hoax tentang pilkada DKI, berita korupsi KTP-el, berita tentang komentar dan bantahan dari tertuduh, dan lain-lain. Berita itulah yang menjadi bacaan dan tontonan dari anak-anak sekolah mulai dari tingkat SD sampai SMA.
Lantas apakah berguna memberikan pendidikan anti korupsi di sekolah, pada hal di luar gedung sekolah yang mereka baca dan yang mereka tonton semua tentang pelaku korupsi yang terlihat dengan senyum cerah di wajah, patentengan dengan seragam kuning KPK, sama sekali tidak terlihat wajah penyesalan.
Dan di masa depan yang tidak begitu lama, mereka itulah yang melanjutkan kehidupan bernegara, mereka yang tumbuh dibawah siraman berita-berita hoax tentang SARA dan tentang korupsi.
Bisakah kita berharap, generasi masa depan itu berbeda dari generasi sekarang yang sangat tengil ini?
Kita akan menuai keruntuhan moral
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H