Mohon tunggu...
Jonny Hutahaean
Jonny Hutahaean Mohon Tunggu... Wiraswasta - tinggi badan 178 cm, berat badan 80 kg

Sarjana Strata 1, hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Samhudi dan Malapetaka Pendidikan

15 Juli 2016   12:55 Diperbarui: 15 Juli 2016   13:02 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat saya duduk di Sekolah Dasar, sekitar tahun 1973 – 1979, guru-guru saya waktu itu bukan hanya mengajari membaca dan berhitung, tetapi juga memeriksa kebersihan kuku tangan dan kaki, rambut dan telinga. Jika kotor, hukumannya adalah berdiri di kursi, betis dipukul dengan penggaris kayu, atau dengan tiga lidi yang disatukan. Atau bisa juga jari tangan kiri disatukan lalu dipukul dengan penghapus papan tulis. Kami, karena masih anak-anak yang suka bermain lumpur pada saat istirahat, ya cukup sering menerima hukuman seperti itu.

Kalau waktu SMP, yang bolos pelajaran dihukum disetrap buka baju di sinar matahari. Kalau hukuman karena menyontek adalah disetrap di ruang kelas menulis sesuatu (rumus atau konsep) sampai ratusan kali. Kalau karena terlambat, ya silahkan membersihkan toilet. Hukuman terberat adalah kalau melawan guru, bisa dipecat. Angkatan saya di SMP terkenal karena kebandelannya, dan paling sering terkena hukuman seperti di atas.

Sewaktu SMA, karena mematahkan dahan pohon akasia di sekolah saat mengejar burung waktu jam istirahat, orangtua (Bapak) saya dipanggil ke sekolah. Hukuman buat saya menjadi dua, dari sekolah dan dari bapak. Hukuman dari sekolah adalah menjadi kewajiban saya merawat pohon akasia tersebut, waduh, saat itu saya kelas dua semester satu, berarti satu setengah tahun pohon akasia menjadi tanggungjawab saya. Hukuman dari bapak adalah mencangkul di kebun dekat rumah dan menanam ketela.

Ruang kelas belajar kita, SD, SMP, dan SMA selalu menjadi tanggungjawab kita tentang kebersihan dan kerapian. Kita, siswa di ruang itu, dibagi menjadi enam kelompok, dan pada hari tertentu adalah menjadi kewajiban dan tanggungjawab kelompok tertentu untuk membersihkan atau menyapu ruang kelas tersebut. Pada saat jadwa kelompok, kita terpaksa dating lebih cepat untuk menyapu dan merapikan bangku kelas.

Hukuman yang kau terima di sekolah, jangan coba melaporkan atau mengadukan ke orangtua, sebab hukumanmu menjadi bertambah, dari orangtua. Di zaman saya, tidak pernah ada orangtua yang melaporkan guru ke polisi karena guru memukul betis siswa.

Lantas apa manfaat segala hukuman dari sekolah yang saya terima itu?

Banyak sekali, sangat banyak sekaliiiiii …..

Setiap perbuatan ada konsekuensi dan akibatnya, ada resiko atau berkah yang berbalik ke kita. Kau bebas memilih untuk berbuat apa saja, tetapi kau tidak berhak memilih apa konsekuensi atau akibat dari perbuatanmu itu. Kau boleh melompat dari gedung pencakar langit, itu pilihan bebasmu. Tetapi akibat dari lompatanmu itu ditentukan oleh hukum grafitasi yang tidak bisa kau atur apalagi kau lawan. Kini, itu sangat mudah saya pahami, dan menjadi begitu adalah akibat hukuman dari guru selama saya sekolah SD, SMP, dan SMA.

Terimakasih kepada semua guru, terutama ke guru yang lebih menyayangi saya melalui hukumannya.

Kini situasi sudah berubah, sayangnya berubah menjadi mempersulit guru untuk mendidik anak. Lebih mengherankan adalah respon orangtua, sangat berbeda sekali dengan respon orangtua saat saya sekolah.

Hukuman fisik ditabukan meski tidak membahayakan kesehatan, itu aneh. Bahkan Tuhan terkadang mengingatkan manusia melalui hukuman fisik. Mengapa guru saya dulu menghukum dengan memukul betis atau pantat, karena mereka tahu bagian tubuh itu berdaging tebal dengan sedikit saraf dan pembuluh, dan tidak akan membahayakan kesehatan fisik saya, maka mereka tidak pernah menampar. Hukuman berjemur di terik matahari malah menambah daya tahan fisik saya, menulis konsep atau rumus ratusan kali malah memperlancar saya menulis rapi dan menghafal. Sekali lagi, terimakasih guruku.

Samhudi mencubit lengan siswa yang tidak menjalankan solat, siswa melapor ke ortu, dan ortu melapor ke polisi, malapetaka pendidikan. Samhudi diputus bersalah melakukan kekerasan, tuntutan hukuman penjara badan 6 bulan, malapetaka pendidikan. Lantas, mengapa akademi Taruna masih menjalankan latihan fisik dan hukuman fisik?

Mengapa malapetaka?

Saya sangat khawatir akibat dari kasus ini, maka guru di sekolah mengambil sikap cukup hanya mengajar. Saya terangkan matematika dengan baik, cukup. Kalau saat saya menjelaskan ada murid yang ribut, saya ingatkan saja. Kalau sampai tiga kali saya ingatkan tetap rebut, ya saya cuekin saja. Emang gue pikirin, bukan anak saya.

Kalau ada murid yang tidak mau solat, saya ingatkan. Kalau sudah tiga kali peringatan saya tidak diperdulikan, cuekin saja. Toh itu bukan anak saya.

Itu bukan anak saya”, bukankah menjadi malapetaka?

Hai para orangtua, begitukah yang kau harapkan sikap guru di sekolah?

Kalau anak saya masuk di suatu sekolah, maka dia wajib mematuhi aturan di sekolah itu. Meski saya anggota DPR atau Tentara, tak ada keistimewaan buat anak saya. Kalau peraturan di sekolah anak laki tidak boleh gondrong maka itu yang berlaku dan itu yang harus dipatuhi. Jika anak laki saya digunduli karena rambutnya gondrong, terimakasih. Jika saya tidak setuju, maka anak saya yang harus keluar dari sekolah itu dan mencari sekolah lain yang memperbolehkan rambut gondrong. Jika anak saya dicubit karena tidak mau mengikuti acara kerohanian yang merupakan program sekolah, saya akan mendatangi sekolah dan mengucapkan TERIMAKASIH. Hukuman adalah bagian dari pendidikan.

Pendidikan apa yang anda berikan ke anak anda, jika guru yang menghukumnya di sekolah anda laporkan ke polisi. Lantas seperti apa sekolah jika semua orangtua bertindak seperti anda?.

Anak anda akan berkesimpulan bahwa dia berhak dan boleh melakukan apa saja yang dia kehendaki, tanpa ada akibat atau konsekuensi apapun pada dirinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun