Mohon tunggu...
Jonminofri Nazir
Jonminofri Nazir Mohon Tunggu... Jurnalis - dosen, penulis, pemotret, dan pesepeda, juga penikmat Transjakrta dan MRT

Menulis saja. Juga berfikir, bersepeda, dan senyum. Serta memotret.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Putu Wijaya Mengungkap Misteri

6 Juli 2024   06:46 Diperbarui: 6 Juli 2024   19:30 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi, fisik itu hanya fisik. Pikiran lebih kuat dan lebih berkuasa dibandingkan dengan fisik. Itu yang berlaku bagi Putu Wijaya.

Karena itu, menyimak pidato Putu Wijaya di PDS HB Jassin pada peluncuran buku ini, kita tetap saja merasa ada yang baru kita dengar. Itu semua, karena Putu menyuarakannya dengan kemasan baru. Semangat menyala, dan menteror juga. Volume suaranya memang lebih kecil karena seperti serak. Tetapi semangatnya tetap terdengar besar. Jadi dalam hal ini, tidak ada hubungannya antara kondisi fisik Putu dan kreativitas, serta aktivitas intelektual, spiritual, dan emosionalnya. Panggung dikuasai oleh Putu yang hanya duduk di kursinya.

Buku ini, seperti buku sebelumnya, ditulis dengan hanya dengan satu tangan saja. Perlu penyesuaian sedikit atau berlatih membiasakan diri mengetik dengan sebelah tangan atau satu jempol. Putu berhasil. Dia menulis bukan dengan tangannya. Tapi dia menulis dengan jiwanya yang merdeka. 

Banyak hal yang patut dicatat dari petuahnya di panggung, tentang proses kreativitasnya.. 

Satu hal yang berkesan buat saya, Putu mengatakan dia menulis tidak pakai teori atau aturan tertentu. Bila dia ingin menulis, dia duduk di depan komputer, lalu kata-kata itu mengalir saja dengan deras dari kepalanya melalui jari-jarinya. 

Bagaimana kalau terjadi macet (writing block)? Putu memilih jalan mengetik terus sampai hambatan itu di atasinya. Dia tidak akan meninggalkan karangannya dalam keadaan macet. 

Bagi sebagian orang penjelasan Putu tadi rada absurd. Tetapi jika kita mengikuti logika Putu itu tidak absurd. Lagi pula untuk menilai sesuatu atau tidak tergantung sudut pandang seseorang.  Putu mencontohkan absurditas orang Bali. 

Kata Putu, orang bali sering dinilai absurd oleh orang luar Bali. Kata Putu, bagaimana orang luar Bali bisa memahami orang Bali mengumpulkan uang dalam waktu lama, kemudian uang itu dihabiskan untuk sebuah upacara. Lalu mereka kehabisan uang, dan minta uang untuk pulang pada Putu. Ini tidak dipahami oleh orang luar Bali. Ini budaya Bali. Termasuk orang yang minta uang pada Putu tadi. Orang itu menempatkan dirinya di bawah Putu secara adat atau secara sosial. Itu bentuk penghargaan kepada orang lain. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun