Putu Wijaya meluncurkan buku Misteri Proses Kreatif Putu Wijaya hari Sabtu 29 Juni 2024, di Pusat Dokumentasi dan Satra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bukunya setebal bantal. Â Ini bukan ajaib, hanya Putu yang bisa bikin buku seperti ini. Dan saya lebih senang karena di dalamnya ada tulisan saya.Â
Pada buku ini Putu menuangkan proses kreatif dalam menulis. Dan tentu saja tentang misteri, segala hal misteri yang terkait dengan proses kreatifnya.
Dulu, dulu sekali, saya lupa tanggal dan tahunnya, Putu berkata, jika ada salah ketik atau salah mengarang pada cerpennya, dia memilih tidak mengeditnya. Dibiarkan saja begitu. Sebab mengedit membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan menulis cerpen baru. Katanya, dari pada mengedit, lebih baik saya menulis cerpen baru. Benar juga ya. Putu Wijaya memang seorang penulis cepat.Â
Karena itu, tidak heran ketika peluncuran buku ini, Maldin Tyasawan berkata: kalau kita melempar sandal ke arah Putu, beberapa menit kemudian jadi sebuah cerpen tentang sandal itu.Â
Itulah Putu Wijaya. Usia baru 80 tahun. Tangan kiri tidak bisa digunakan. Kakinya juga tidak mampu menopang tubuhnya berdiri. Sehari-hari pria besar ini berada di kursi roda. Tidak terdengar keluhan darinya.Â
Tapi tidak ada yang berubah dari jiwanya, semangatnya, dan nilai-nilai yang dianutnya: seorang pria yang memandang positif segala hal. Kredonya, "mulai dari apa yang ada," tetap dikatakannya secara berulang-ulang.Â
Karena itu, bagaimanapun kondisinya, buku tebal ini, hampir  600 halaman, lahir dari pikiranya, dan dari kreativitasnya. Seolah-olah pria ini memiliki energi yang luber untuk berkarya. Gak pernah kering.
Sekedar untuk membayangkan: Bab 2 buku ini berjudul "Misteri Kerja Kreatif." Di dalam bab ini ada 68 subbab, total 212 halaman. Judul subbab itu semuanya dimulai dengan kata "misteri". Â Tetapi bagi Putu mudah saja menulis 68 judul itu. Bahkan 1000 judul pun kita bisa bayangkan akan selesai. Rumusannya: tidak pakai perencanaan, duduk saja di depan komputer, lalu mengetik. Jika di tengah jalan macet atau mentok (writing block), jangan bangun dari kursi, mengetik saja terus. Nanti juga ada jalan. Sebab, Putu mengenal banyak jalan tikus.
Jadi, tidak ada masalah soal karya kreatif bagi Putu yang punya kendala fisik.
Tetapi, fisik itu hanya fisik. Pikiran lebih kuat dan lebih berkuasa dibandingkan dengan fisik. Itu yang berlaku bagi Putu Wijaya.
Karena itu, menyimak pidato Putu Wijaya di PDS HB Jassin pada peluncuran buku ini, kita tetap saja merasa ada yang baru kita dengar. Itu semua, karena Putu menyuarakannya dengan kemasan baru. Semangat menyala, dan menteror juga. Volume suaranya memang lebih kecil karena seperti serak. Tetapi semangatnya tetap terdengar besar. Jadi dalam hal ini, tidak ada hubungannya antara kondisi fisik Putu dan kreativitas, serta aktivitas intelektual, spiritual, dan emosionalnya. Panggung dikuasai oleh Putu yang hanya duduk di kursinya.
Buku ini, seperti buku sebelumnya, ditulis dengan hanya dengan satu tangan saja. Perlu penyesuaian sedikit atau berlatih membiasakan diri mengetik dengan sebelah tangan atau satu jempol. Putu berhasil. Dia menulis bukan dengan tangannya. Tapi dia menulis dengan jiwanya yang merdeka.Â
Banyak hal yang patut dicatat dari petuahnya di panggung, tentang proses kreativitasnya..Â
Satu hal yang berkesan buat saya, Putu mengatakan dia menulis tidak pakai teori atau aturan tertentu. Bila dia ingin menulis, dia duduk di depan komputer, lalu kata-kata itu mengalir saja dengan deras dari kepalanya melalui jari-jarinya.Â
Bagaimana kalau terjadi macet (writing block)? Putu memilih jalan mengetik terus sampai hambatan itu di atasinya. Dia tidak akan meninggalkan karangannya dalam keadaan macet.Â
Bagi sebagian orang penjelasan Putu tadi rada absurd. Tetapi jika kita mengikuti logika Putu itu tidak absurd. Lagi pula untuk menilai sesuatu atau tidak tergantung sudut pandang seseorang. Â Putu mencontohkan absurditas orang Bali.Â
Kata Putu, orang bali sering dinilai absurd oleh orang luar Bali. Kata Putu, bagaimana orang luar Bali bisa memahami orang Bali mengumpulkan uang dalam waktu lama, kemudian uang itu dihabiskan untuk sebuah upacara. Lalu mereka kehabisan uang, dan minta uang untuk pulang pada Putu. Ini tidak dipahami oleh orang luar Bali. Ini budaya Bali. Termasuk orang yang minta uang pada Putu tadi. Orang itu menempatkan dirinya di bawah Putu secara adat atau secara sosial. Itu bentuk penghargaan kepada orang lain.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H