Sayangnya, kami tidak menyiapkan diri dengan baik datang ke sini. Tidak ada buah tangan yang kami bawa untuk teman bergembira. Amelia Fitriani, salah seorang rombongan kami, mencopot gelang emas dari tangan kirinya dan memakaikan gelang itu ke tangan Tiara, salah seorang dari mereka.Â
Gelang itu merupakan pasangan dari kalung yang dipakai Amel. "Aku pakai kalungnya, kamu pakai gelangnya ya," kata Amel pada Tiara. Saya intip di internet harga gelang emas itu Rp1.4 juta.Â
Satu anak lain mendapat anting bermotif etnik berwarna-warni dari Amel. Anting itu cocok dengan pakaian adat yang dominan warna merah yang dipakai anak itu. Mereka tampak senang sekali, kata Amel.Â
Ketika kami makan siang di ruang guru, wajah Tiara tampak sumringah dari balik pagar kawat mengintip ke arah Amel. Matanya berbinar-binar. Menurut saya, Tiara baru saja mendapatkan pengalaman yang tidak akan dilupakannya sepanjang hidupnya.Â
Saya mengambil inisiatif mengumpulkan ringgit yang ada pada  rombongan untuk pengganti hidangan makan siang yang disajikan pengelola sekolah. Tetapi Fatin Hamama, kepala rombongan memutuskan menggunakan sisa uang rombongan untuk diberikan kepada guru. Guru mereka menyambut RM500 yang kami berikan dengan senang hati. Mereka minta izin untuk menggunakan uang itu untuk membeli kursi plastik untuk di kelas. Semua kursi di kelas itu memang kursi plastik yang pakai sandaran. Kursi yang amat sederhana.Â
Siswa Gembira, Guru Berjuang
Kegembiraan anak itu sebenarnya hasil perjuangan 14 Â guru di CLC yang berada di kaki gunung Kinabalu itu
Guru-guru di sini mempunyai cerita yang seru juga. Mereka bekerja pantang lelah dengan fasilitas seadanya, dan dana cekak pula.Â
Sebanyak 14 guru di sekolah yang terletak di Jalan Cinta Mata, Kundasang ini. Mereka adalah guru yang digaji pemerintah Indonesia. Tetapi, jumlah guru sebanyak itu, tidak cukup untuk siswa yang berjumlah 464 orang.Â