Mohon tunggu...
Jon Masli
Jon Masli Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

BUMN Kucilkan Swasta? Solusi Presiden

6 Februari 2018   10:00 Diperbarui: 6 Februari 2018   10:24 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

(Oleh Jon A. Masli, Ketua Komite NAFTA- KADIN)

Masih segar pemberitaan tentang pernyataan Ketua Umum KADIN Indonesia Rosan Roeslani yang membuat Menteri BUMN Ibu Rini Sumarno sempat tersinggung, karena beliau berkata BUMN terlalu menguasai semua proyek pemerintah, terutama proyek2 infrastruktur,  sehingga badan usaha milik swasta, dan UMKM tidak kebagian jatah. Sebenarnya phenomena ini, dimana proyek2 mega pemerintah kebanyakan sampai turun temurun gonta ganti presiden. 

Memang polemik ini membuat kita prihatin karena kedua tokoh ini membawahi dua pilar ekonomi yang terpenting didalam struktur perekonomian NKRI yaitu  BUMN dan KADIN pelaku usaha swasta, yang nota bene adalah perusahaan UMKM, menengah, besar, koperasi,  dan juga konglomerat. Pernyataan Ketum KADIN membuat para pelaku bisnis swasta sempat kaget mengingat selama ini tidak ada yang mengangkat fakta yang selama ini kita take it for granted seperti business as usual. Namun kali ini diangkat karena mungkin karena maraknya perusahaan2 kontraktor dan supllier swasta yang lagi  pada gulung tikar beberapa tahun terakhir ini.

Patut dicermati bahwa kedua tokoh ini mempunyai alasan2 yang  patut dibela secara objektif. Kita tahu, bahwa struktur anatomi ekonomi Indonesia itu unik didunia dan dihatur dengan UUD 45 yang mengakui keberadaan para pelaku ekonominya,  yaitu BUMN, BUMD, Koperasi, dan  PT, CV, Firma, yang tentunya adalah perusahaan2 swasta yang terkategori sesuai dengan kemampuan permodalan menjadi UKM dan  UMKM, dan usaha2 nirlaba, seperti Yayasan, Asosiasi, Perkumpulan dll. Kesemuanya berperan dalam kapasitasnya masing2 memberi kontribusinya sebagai pelaku ekonomi yang sah. Dalam GBHN perekonomian jelas diakui eksistensi  BUMN sebagai pilar ekonomi dan Koperasi sebagai Sokoguru perekonomian Indonesia memainkan perannya menjadi sumbangsih merangkul usaha2 swasta lainnya menggenjot ekonomi NKRI bersama sama. Dalam perjalanan selama puluhan tahun sejak zaman Soeharto, timbul pengakuan dilapangan lahirnya kelompok2 usaha besar atau raksasa, yaitu konglomerat yang perannya juga sangat besar dan dominan. 

Kesemua pelaku usaha swasta ini dapat kita katakan adalah para stake holder dan kontributor yang menunjang kegiatan pilar ekonomi BUMN dan  pelaku ekonomi yang turut berperan pendukung menjadi agen2 pembangunan, agen2 perubahan, dan agen2 penyumbang pembangunan ekonomi. Idealnya kalau saja mereka ini dapat bersatu padu saling memahami perannya masing2 dan bekerja sama akan berdaya memacu pertumbuhan ekonomi yang sehat. 

Ini bagaikan sebuah orchestra dengan berbagai pemain musik memainkan instrumen musik menghasilkan sebuah karya alunan musik yang indah. Dengan kata lain bila para pelaku ekonomi tersebut "bersatu padu" melantunkan musik ekonomi saling memberdayakan sehingga membuat roda ekonomi berputar, membangun infrastruktur, industri, pertanian, perdagangan, perumahan real esatate, energy, transportasi, perikanan, pertanian, dst akan menciptakan sejutaan pengusaha baru dan juga  jutaan lapangan  kerja baru mensejahterakan rakyatnya.

Fakta yang berlaku selama ini adalah BUMN dan BUMD biasanya diberikan kemudahan kemudahan dan fasilitas fasilitas oleh pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan misi nya yang biasanya disebut "Agen Pembangunan" tadi. Mereka tentunya diharapkan merangkul saudara saudara nya perusahaan-perusahaan swasta, termasuk koperasi, konglomerat, perusahaan-perusahaan besar & menengah, UMKM dll yang biasanya disebut para rekanan,  dengan model bisnis "mengesub" kan pekerjaan --pekerjaan jasa kontraktor dan pengadaan barang-barang, kepada para rekanan-rekanan tersebut. Model bisnis ini sudah berlanjut berpuluh puluh tahun sejak jaman kita merdeka bahkan dari jaman Jepang dan Belanda.

Apa yang dikatakan Ibu Rini Sumarno itu ada benarnaya, bahwa BUMN memang sudah melakukan kewajiban misinya, termasuk membantu memberdayakan perusahaan2 swasta  UMKM, menengah, besar dan konglomerat dan khususnya pengusaha-pengusaha mikro  dengan pendanaan Rp.500.000 sampai Rp 3 juta melalui berbagai program yang dirancang BUMN. Tapi jujur, kalau kita telaah dari dekat dilapangan mulai kelihatan praktek2 BUMN yang terkesan agak menyimpang dari misinya erdayakan swasta membangun, terutama ketika maraknya pembangunan infrastruktur, sinergi BUMN2 bersinergi diantara mereka lebih intensif dan peran swasta berkurang drastis.

Selama 3 tahun terachir ini. Mungkin kita tidak dapat menuduh sinergi ini menjadi penyebab phenomena cukup banyaknya  perusahaan kontraktor dan supllier swasta yang tutup. Tapi inilah yang membuat pernyataan Ketum KADIN itu amat berarti bagi para pengusaha, bahwa BUMN terlalu menguasai projek2 besar pemerintah  dengan hanya bersinergi antara BUMN-BUMN tapi bukan BUMN dan swasta.

Inilah uniknya permasalahan anatomi struktur ekonomi kita ini, lain dari yang lain  dari negara mana pun di dunia ini. Fakta dilapangan , tanpa bermaksud mengkritik Bapak Rosan Roeslani, Ketua Umum KADIN dan Ibu Rini Sumarno, men BUMN, mari kita coba  bahas kelemahan2 atau areas of improvements dari kedua pilar ekonomi ini,  BUMN dan Badan Usaha Milik Swasta, sebagai berikut inI:

BUMN-BUMN cukup sering mengeluh tidak dapat "memakai jasa" Badan Usaha swasta, karena mereka dianggap kurang professional, antara lain kelemahan dikualitas/teknologi pekerjaan, tidak tepat waktu delivery pekerjaan, permodalan, manajemen yang kurang profesional dan lain2. Makanya seleksi ketat menjadi rekanan BUMN-BUMN terjadi. Dan kerap kali alasan2 ini menjadi celah kuat bagi BUMN bersinergi dengan BUMN atau mendirikan perusahaaan anak dan cucu. Memang banyak badan usaha swasta profesional yang dapat "rukun/get along" kerja sama dengan BUMN dan BUMD dengan harmonis selama ini dan sukses.

Tapi sebaliknya, banyak juga perusahaan-perusahaan  swasta yang kurang cocok /harmonis dan memilih "tidak mau" bekerja sama dengan BUMN-BUMN karena berbagai alasan2 klasik, seperti antara lain: BUMN cenderung membayar mereka berbulan -- bulan bahkan terkadang sampai bertahun, sehingga mengancam kelangsungan bisnis mereka karena gangguan arus kas. Ada juga alasan dikompasin para oknum-oknum BUMN yang biasanya "bukan level atas", yang merayu para rekanan dengan berbagai "iming2 bantuan" untuk memuluskan/memenangkan tender projek, sehingga terkadang mark up proyek tak terhindari yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. 

Oknum2 yang begini biasanya kroni-kroni para pejabat/penguasa di BUMN-BUMN yang meminta imbalan komisi  yang kadang2 dikondisikan dibayar dimuka/up front.Masalah2 klasik tradisional inilah yang bermuara dari kedua belah pihak yang kerap terkendala melaksanakan Good Corporate Governance untuk saling memberdayakan sehingga memicu BUMN-BUMN "membuat" perusahaan2 anak dan  dan lambat laun terkesan mengucilkan peran swasta. 

Phenomena inipun berlanjut melahirkan birokrat baru diperusahaan2 anak dan cucu yang dibuat, biasanya para pengurus atau direksinya dari kalangan pensiunan atau relasinya para pejabat di BUMN induk yang mana mereka didudukan didalam manajemen perusahan-perusahaan anak dan cucu tadi. Ini jelas sudah menympang  dari misi dan visi BUMN manapun. Perilaku korporasi yang tidak sehat ini sudah sepatutnya disadari oleh semua penguasa BUMN terutama diera semangat kita membangun ekonomi kerakyatan, karena bukan saja aksi korporasi begini berpotensi mengucilkan peran para stake holder pelaku ekonomi swasta  lainnya yang berhak dan berdaulat, tapi juga menyebabkan terganggunya perputaran roda ekonomi. 

Tanpa menyelesaikan akar permasalahan ini ekonomi akan terganggu dan terkendala untuk mencapai pertumbuhan ekonomi kita yang ditarget 5,3% oleh bapak presiden. Sebaliknya kelemahan badan usaha milik swasta bila tidak berbenah diri, akan menjadi celah yang beralasan bagi BUMN untuk terus bersinergi diantara mereka mengucilkan peran usaha swasta, membuat anak dan cucu perusahaan, dengan dalih risk management/ mengelola resiko karena terbatasnya pengusaha swasta yang capable/ profesional.Pada saat yang sama, para pengusaha yang potensial dan profesional juga akan hengkang bekerja sama dengan BUMN karena faktor2 kelemahan klasik tata kelola BUMN dengan pembayaran yang berlarut larut dan biaya2 komisi siluman terasosiasi tadi. 

Bad corporate governance ini sudah tidak terkendali sehingga sekarang  BUMN sudah beranggotakan  800 perusahaan yang terasosiasi alias perusahaan anak dan cucu dengan 160 puluhan BUMN induk. Salah satu contoh perusahaan BUMN yang banyak perusahaan anak dan cucunya, adalah Pertamina,yang sudah kita kenal dari zaman kepemimpinan Pak Ibnu Soetowo(Alm). 

Kemudian Widjaya Karya dengan berbagai perusahaan anak dengan kepemilikan saham menguasai jalan2 tolnya yang banyak karena memang Wika diberikan mandat oleh pemerintah membangun projek projek infrastruktur. Baru2 ini Wika juga membuat anak perusahaan konsortium,  PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia bersinergi dengan  4 BUMN yang dipimpin Wika menggarap proyek high speed train Jkt- Bdg. Mungkinkah Wika tidak sadar bahwa langkah ini berpotensi menutup peluang berusaha teman2 perusahaan swasta untuk berpartisipasi membangun proyek kereta api cepat ini? 

Pernahkah terpikir bahwa ada kemungkinan potensi masalah tak terduga seperti  bila nanti ternyata ada masalah2  tehnis seperti runtuhnya bangunan infrastruktur yang  akhir2 ini marak  terjadi, Wika menjadi  tidak dapat objektif lagi karena terjebak di posisi benturan kepentingan/conflict of interest dikarenakan Wika berperan sebagai pemilik proyek dan juga menjadi kontraktor proyek pada saat yang sama. Lebih konyol lagi, sebagai induk perusahaan WIKA dalam berbisnis bergeraknya menjadi lamban karena modalnya sudah "tertanam" diperusahaan2 anak tadi. 

Modal pun harus ditambahkan karena double fungsinya dan jelas cashflowpun otomatis terganggu karena musti membiayai proyek2 mereka tadi. Efek domino negatif lainnya adalah ke para sub kontraktor dan supplierpun yang dibayar tersendat sendat. Mau tidak mau WIKA harus jual jualin anak -- anak perusahaannya ketimbang beratnya beban pembiayaan keuangan  akibat conflict of interest tadi. Kasus lain, seperti Pelindo dengan anak2 perusahaannya yang sempat dihebohkan dengan pembentukan anak perusahaan angkutan armada container. 

Aksi korporasi ini disatu sisi membuat senang pemegang saham, tapi disisi lain membuat cukup banyak usaha angkutan pelabuhan swasta yang berbisnis puluhan tahun terpaksa gulung tikar/ tutup karena gebrakan direksi Pelindo berinvestasi ratusan armada truk angkutan kontener. Orderan yang tadinya diberikan kepada perushaan2 swasta UKM, pindah keperusahaan anaknya. Pelindo. Kemudian Angkasa Pura dan BUMN2 lain yang tidak dapat disebut satu persatu dengan segala  perusahaan anak dan cucunya yang konon sudah berjumlah 800 perushaan. 

Inilah fakta lingkaran setan yang terkadang tidak tersadarkan oleh para pengambil keputusan atau para penguasa/ direksi/komisaris BUMN  yang terjebak di kondisi "conflict of interest" dan dengan bangganya menguasai aset ribuan triliun rupiah dalam bentuk perusahaan2 anak dan cucu dengan aset2 tidak bergerak dan non produktif yang berimplikasi ke ekonomi biaya tinggi atau  high cost economy. Mereka mungkin  tidak menyadari bahwa pembiayaan perusahaan anak itu juga hasil sinergi kredit bank2 plat merah yang lebih murah ketimbang bila kredit itu diberikan kepada perusahaan2 swasta yang sempat bangkrut, dengan banyaknya orang2 yang kehilangan pekerjaanya.

Apakah pejabat2 BUMN peduli dengan hal ini?padahal mereka itu orang2 pintar dengan seleksi fit dan proper test yang ketat dan walau ada juga para eksekutif karbitan eks politikus partai berkuasa yang memang  belum mengerti akan phenomena boomerang effect oligopoli dan aset non produktif dalam tatanan sistim ekonomi , walau mereka ini konon katanya lulusan dari universitas liga utama Indonesia dan banyak juga yang dari Universitas  top di Amerika,Australia dan Eropah, atau mereka pura2 tidak mengerti?.

Kenyataan sekarang yang memegang ratusan proyek2 infrastruktur yang bernilai ratusan tri;iun rupiah adalah perusahaan2 plat merah, terutama Wika, Hutama Karya, Adhi Karya, dll.  Fakta ini telah jelas melanggar peraturan presiden no 54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa dimana pemenag tender proyek pemerintah dibatasi diperkenankan dapat mengerjakan maksimal sejumlah tertentu dari jumlah proyek pemerintah. 

Yang terjadi dilapangan adalah mereka memegang terlalu banyak proyek yang membuat perusahaan2 plat merah kelabakan terjebak disituasi terganggu cash flow dan keuangan atau permodalannya. Kita dapat mengerti disatu sisi mereka memang sudah go public dan harus mengejar pfofit untuk kepentingan dividen membayar para investornya, tapi apakah harus tidak beretika(maaf) dalam menguasai hampir semua proyek2 infrastruktur tersebut dengan mengurangi peran swasta secara makro, yang berdampak  banyak perusahaan swasta yang tidak kebagian dan harus tutup kelangsungan usahanya  Ekonomipun terganggu dengan banyaknya laid off pegawai, dan bagi perushaan  yang survive bertahan tidak dapat menyerap tenaga kerja. 

Banyak lagi pehenomena multiplier efek negatif kontra produktif ditengah semangat presiden mencanagkan ekonomi kerakyatan. Inilah saatnya kita mengharapkan pemahaman Pak Jokowi yang mantan pengusaha dan memahami betul akan praktik Bad Corporate Governance ini ditengah maraknya pembangunan infrastruktur dimana mana dengan  membangkitkan bisnis pengusaha nasional seperti model ekonomi kerakyatan yang bapak presiden canangkan selama ini dengan  merangkul kembali sinergi dengan perushaan2 swasta.

Sebagai konklusi, usulan solusi  kepada kedua belah kubu, idealnya adalah BUMN dan swasta perlu meningkatkan kerja sama saling memberdayakan perannya masing2 membangun ekonomi kerakyatan, titik!. Hendaknya BUMN jangan berbisnis dengan hanya bersinergi antar BUMN saja, tapi juga dengan swasta dan UMKM. 

Simak kembali tagline BUMN BERSINERGI. Perlukah direvisi menjadi SINERGI BUMN-SWASTA? Demikian juga para konglomerat yang terkadang cenderung berperilaku  beroligopoli,  beranak dan bercucu sehingga usaha2 swasta lain tidak berkesempatan berusaha. Phenomena ini sangat banyak dikelompok usaha konglomerat, tidak perlu kita sebutkan satu persatu, karena budaya bisnis Indonesia cenderung oligopoli. Sulit  bagi mereka atau penguasa bisnis Indonesia memahami apa itu conflict of interest, apalagi berbagi berusaha(memberi kesempatan peluang berusaha) dengan mengesubkan kephihak lain. 

Biasanya mereka mempunyai berbagai dalih yang beralasan walau terkadang melanggar kode etika berbisnis. Padahal para eksekutif dan CEO perusahaan swasta dan BUMN itu sudah piawai memahami apa itu artinya GCG bahkan sudah ikut training GCG yang  ngelotok. Kita tidak mutlak menyalahkan perilaku BUMN bersinergi, dan beranak bercucu itu, asal mereka paham apa implikasi boomerang effectnya dan  bijaksana  melaksanakan bisnis dengan  tidak mengurangi kesempatan para pelaku usaha swasta lainnya ikut berperan berbisnis. 

Konglomerat juga tidak kita salahkan menambah jumlah perusahaannya, selama mereka tidak mematikan para pelaku usaha, apalagi yang berada di lingkungan sekitarnya tempat berusaha. Bukankah mayoritas para pejabat maupun pebisnis swasta paham dengan soal tantangan konsekuensi berbisnis dengan model beranak bercucu itu yang memang ada baiknya dan banyak juga negatifnya? Bos-bos ini sudah melalui proses seleksi eksekutif yang ketat fit dan proper test(yang BUMN) dan lulusan sekolah tinggi dari universitas bergengsi untuk  berbisnis dengan berpedoman kepada Good Corporate Governance berbisnis dengan etika. 

Pelatihan GCG di BUMN Indonesia menghabiskan biaya dengan rekor tertinggi dikawasan ASEAN,  dimana ratusan milyar rupiah dianggarkan setiap tahun untuk GSG, namun hasilnya? Tapi kembali  banyak faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi mereka untuk  melahirkan anak dan cucu perusahaan, termasuk seperti alasan politik mengakomodir "para politikus" yang ikut berperan menduduki mereka menjabat, sampai ke alasan "risk manajemen"  seperti alasan perusahaan swasta yang kurang professional. 

Pada saat yang sama untuk Pak Rosan, Ketum KADIN, sepertinya perlu ada introspeksi masal para anggota2nya pelaku bisnis swasta KADIN dan melakukan perbaikan manajemen internal areas of improvement membenahi profesionalisme manajemen, kualitas pekerjaan, ketepatan waktu delivery, permodalan, dan lain2nya, bila perlu memberdayakan sinergi investasi asing dengan teknologi, manajemen dan permodalan mereka sehingga BUMN tidak beralasan lagi untuk tidak merangkul swasta dalam kegiatannya membangun infrastruktur dengan alasan2 klasik  tersebut.

Tepat sekali  kalau presiden sebagai mantan pelaku usaha swasta paham akan polemik ini  dan memberikan solusi  memerintahkan pemangkasan kelompok usaha BUMN menjadi 200 BUMN. Dan this is the moment, inilah saatnya, ketika pemerintah mendelegasi projek projek infrastruktur kepada Wika, Adhi Karya, Hutama Karya, Pelindo, Angkasa Pura, dan BUMN  lainnya, mohon kiranya mereka legowo mau berbagi/ sharing bisnis memberi peluang yang sebesar-besarnya kepada para pengusaha swasta untuk ikut  berpartisipasi membangun proyek2 infrastruktur dengan semangat kebersamaan pelaksanaan ekonomi kerakyatan membangun NKRI, LETS MAKE INDONESIA GREAT AGAIN, maaf bukan bermaksud meniru Mang Donald Trump. Hanya dengan bersatunya BUMN, Koperasi, Konglomerat dan para pelaku usaha swasta besar, menengah, kecil dan UMKM, kita dapat membuat Indonesia lebih baik lagi mewujudkan target pertumbuhan ekonomi diatas 5,3% tahun 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun