Mohon tunggu...
Jon Masli
Jon Masli Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

BUMN Kucilkan Swasta? Solusi Presiden

6 Februari 2018   10:00 Diperbarui: 6 Februari 2018   10:24 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tapi sebaliknya, banyak juga perusahaan-perusahaan  swasta yang kurang cocok /harmonis dan memilih "tidak mau" bekerja sama dengan BUMN-BUMN karena berbagai alasan2 klasik, seperti antara lain: BUMN cenderung membayar mereka berbulan -- bulan bahkan terkadang sampai bertahun, sehingga mengancam kelangsungan bisnis mereka karena gangguan arus kas. Ada juga alasan dikompasin para oknum-oknum BUMN yang biasanya "bukan level atas", yang merayu para rekanan dengan berbagai "iming2 bantuan" untuk memuluskan/memenangkan tender projek, sehingga terkadang mark up proyek tak terhindari yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. 

Oknum2 yang begini biasanya kroni-kroni para pejabat/penguasa di BUMN-BUMN yang meminta imbalan komisi  yang kadang2 dikondisikan dibayar dimuka/up front.Masalah2 klasik tradisional inilah yang bermuara dari kedua belah pihak yang kerap terkendala melaksanakan Good Corporate Governance untuk saling memberdayakan sehingga memicu BUMN-BUMN "membuat" perusahaan2 anak dan  dan lambat laun terkesan mengucilkan peran swasta. 

Phenomena inipun berlanjut melahirkan birokrat baru diperusahaan2 anak dan cucu yang dibuat, biasanya para pengurus atau direksinya dari kalangan pensiunan atau relasinya para pejabat di BUMN induk yang mana mereka didudukan didalam manajemen perusahan-perusahaan anak dan cucu tadi. Ini jelas sudah menympang  dari misi dan visi BUMN manapun. Perilaku korporasi yang tidak sehat ini sudah sepatutnya disadari oleh semua penguasa BUMN terutama diera semangat kita membangun ekonomi kerakyatan, karena bukan saja aksi korporasi begini berpotensi mengucilkan peran para stake holder pelaku ekonomi swasta  lainnya yang berhak dan berdaulat, tapi juga menyebabkan terganggunya perputaran roda ekonomi. 

Tanpa menyelesaikan akar permasalahan ini ekonomi akan terganggu dan terkendala untuk mencapai pertumbuhan ekonomi kita yang ditarget 5,3% oleh bapak presiden. Sebaliknya kelemahan badan usaha milik swasta bila tidak berbenah diri, akan menjadi celah yang beralasan bagi BUMN untuk terus bersinergi diantara mereka mengucilkan peran usaha swasta, membuat anak dan cucu perusahaan, dengan dalih risk management/ mengelola resiko karena terbatasnya pengusaha swasta yang capable/ profesional.Pada saat yang sama, para pengusaha yang potensial dan profesional juga akan hengkang bekerja sama dengan BUMN karena faktor2 kelemahan klasik tata kelola BUMN dengan pembayaran yang berlarut larut dan biaya2 komisi siluman terasosiasi tadi. 

Bad corporate governance ini sudah tidak terkendali sehingga sekarang  BUMN sudah beranggotakan  800 perusahaan yang terasosiasi alias perusahaan anak dan cucu dengan 160 puluhan BUMN induk. Salah satu contoh perusahaan BUMN yang banyak perusahaan anak dan cucunya, adalah Pertamina,yang sudah kita kenal dari zaman kepemimpinan Pak Ibnu Soetowo(Alm). 

Kemudian Widjaya Karya dengan berbagai perusahaan anak dengan kepemilikan saham menguasai jalan2 tolnya yang banyak karena memang Wika diberikan mandat oleh pemerintah membangun projek projek infrastruktur. Baru2 ini Wika juga membuat anak perusahaan konsortium,  PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia bersinergi dengan  4 BUMN yang dipimpin Wika menggarap proyek high speed train Jkt- Bdg. Mungkinkah Wika tidak sadar bahwa langkah ini berpotensi menutup peluang berusaha teman2 perusahaan swasta untuk berpartisipasi membangun proyek kereta api cepat ini? 

Pernahkah terpikir bahwa ada kemungkinan potensi masalah tak terduga seperti  bila nanti ternyata ada masalah2  tehnis seperti runtuhnya bangunan infrastruktur yang  akhir2 ini marak  terjadi, Wika menjadi  tidak dapat objektif lagi karena terjebak di posisi benturan kepentingan/conflict of interest dikarenakan Wika berperan sebagai pemilik proyek dan juga menjadi kontraktor proyek pada saat yang sama. Lebih konyol lagi, sebagai induk perusahaan WIKA dalam berbisnis bergeraknya menjadi lamban karena modalnya sudah "tertanam" diperusahaan2 anak tadi. 

Modal pun harus ditambahkan karena double fungsinya dan jelas cashflowpun otomatis terganggu karena musti membiayai proyek2 mereka tadi. Efek domino negatif lainnya adalah ke para sub kontraktor dan supplierpun yang dibayar tersendat sendat. Mau tidak mau WIKA harus jual jualin anak -- anak perusahaannya ketimbang beratnya beban pembiayaan keuangan  akibat conflict of interest tadi. Kasus lain, seperti Pelindo dengan anak2 perusahaannya yang sempat dihebohkan dengan pembentukan anak perusahaan angkutan armada container. 

Aksi korporasi ini disatu sisi membuat senang pemegang saham, tapi disisi lain membuat cukup banyak usaha angkutan pelabuhan swasta yang berbisnis puluhan tahun terpaksa gulung tikar/ tutup karena gebrakan direksi Pelindo berinvestasi ratusan armada truk angkutan kontener. Orderan yang tadinya diberikan kepada perushaan2 swasta UKM, pindah keperusahaan anaknya. Pelindo. Kemudian Angkasa Pura dan BUMN2 lain yang tidak dapat disebut satu persatu dengan segala  perusahaan anak dan cucunya yang konon sudah berjumlah 800 perushaan. 

Inilah fakta lingkaran setan yang terkadang tidak tersadarkan oleh para pengambil keputusan atau para penguasa/ direksi/komisaris BUMN  yang terjebak di kondisi "conflict of interest" dan dengan bangganya menguasai aset ribuan triliun rupiah dalam bentuk perusahaan2 anak dan cucu dengan aset2 tidak bergerak dan non produktif yang berimplikasi ke ekonomi biaya tinggi atau  high cost economy. Mereka mungkin  tidak menyadari bahwa pembiayaan perusahaan anak itu juga hasil sinergi kredit bank2 plat merah yang lebih murah ketimbang bila kredit itu diberikan kepada perusahaan2 swasta yang sempat bangkrut, dengan banyaknya orang2 yang kehilangan pekerjaanya.

Apakah pejabat2 BUMN peduli dengan hal ini?padahal mereka itu orang2 pintar dengan seleksi fit dan proper test yang ketat dan walau ada juga para eksekutif karbitan eks politikus partai berkuasa yang memang  belum mengerti akan phenomena boomerang effect oligopoli dan aset non produktif dalam tatanan sistim ekonomi , walau mereka ini konon katanya lulusan dari universitas liga utama Indonesia dan banyak juga yang dari Universitas  top di Amerika,Australia dan Eropah, atau mereka pura2 tidak mengerti?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun