Oleh: Jon A. Masli, Penggiat Go Public & Investasi
Judul ini terinspirasi ketika dalam penerbangan stop over di Beijing ke Los Angeles dengan Air China, berdasarkan informasi yang kami terima dari breaking news dari stasiun televisi swasta bahwa Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan dicecar oleh para anggota DPR Komisi VI bidang BUMN tentang kerugian Garuda Indonesia sebagai flagship kebanggaan RI. Kerugian Garuda per semester I tahun 2017 ini cukup signifikan sebesar Rp3,7 trilun atau $283,8 juta. Ada keanehan disini, mengapa bukan Menteri BUMN yang dicecar oleh Komisi VI, dan mengapa pula bukan Pahala Mansury yang merupakan CEO GARUDA yang paling bertanggung jawab.
Memang nilai perusahaan Garuda sejak Go Public sampai sekarang sudah masuk dalam kelas papan atas perusahaan penerbangan, hampir mendekati perusahaan penerbangan Singapura SQ yang lebih besar armadanya dibanding Garuda. Namun, kerugian sebesar Rp.3,7 Triliun atau $283,8 juta ini sangat mengagetkan karena merupakan kerugian tertinggi dalam sejarah Garuda dan tertinggi juga dibanding dengan kerugian 24 BUMN- BUMN lain tahun ini. Makanya kerugian Garuda masuk ke kategori hot topic breaking news.
Kami tidak bermaksud menganalisa apa komentar Pak Roy Suryo, pakar IT dan anggota DPR komisi VI yang normatif menanyakan mau dibawa kemana BUMN Garuda yang sudah go public ini. Tapi kami sebagai penggiat perusahaan Go Public dan investasi berhasrat ingin berbagi pendapat tentang mengapa Garuda harus menyalahkan harga avtur yang tak terkendali dan pembayaran Tax Amnesty sebagai pemicu kerugian perusahaan sampai Rp. 3,7 T. Sebagai sebuah perusahaan Go Public dan BUMN yang selama ini kita banggakan, Garuda adalah aset nasional yang kita seyogyanya kita pedulikan bersama.
Masih terbersit diingatan kita ketika pada tahun 2015 diberitakan rencana Garuda menambah armada baru berbadan lebar, sempat terjadi perbedaan pendapat yang hangat diperdebatkan. Mantan Menko Maritim, Pak Rizal Ramli juga mengingatkan Direksi Garuda untuk mengurungkan rencana pembelian armada baru tersebut karena akan menambah beban operasional dan hutang yang sudah mencapai Rp. 39,6 T. Alasan beliau ternyata tidak meleset, bahwa pembelian armada akan membebani biaya operasional Garuda dan mengancam kebangkrutan.
Dimata pemegang saham perusahaan yang sudah go public, manajemen Garuda patut disayangkan secara moral telah melanggar Good Corporate Governance mengingat sudah adanya analisa resiko bahwa bila menambah armada dengan ketidakpastian load factor, yang mana bahan bakar adalah fixed cost dari setiap penerbangan, perusahaan akan merugi. Namun, Direksi tetap mengakomodir dengan penuh percaya diri.Dari kedua alasan utama yang dipaparkan CEO Garuda tentang penyebab kerugian Garuda, AVTUR dicap sebagai pemicu penyebab kerugian itu.
Ini adalah kambing hitam yang patut dikembalikan ketanggung jawab Para Direksi dan Komisaris yang memutuskan membeli armada baru yang akhirnya menambah beban operasional. Mereka inilah yag membuat keputusan pengadaan tambahan armada tanpa mempertimbangkan dengan seksama kajian dan saran dari pakar manajemen internal BUMN maupun external dari kalangan pasar modal waktu itu yang mengingatkan untuk menahan diri agar tidak perlu menambah armada mengingat harga Avtur yang tidak terkendali dan persaingan dengan low cost carrier yang kian intense serta beban hutang yang hampir Rp.40Triliun dengan beban bunga.Â
Lagi pula Garuda masih termasuk pendatang baru yang melantai di Bursa Efek Indonesia. Kecerobohan pengadaan armada baru bukan saja membuat beban pembiayaan bahan bakar melesat drastis, ternyata langkah ini tidak diimbangi dengan strategi terobosan pengembangan usaha pasar dengan model bisnis yang lebih inovatif, malah Garuda bereuphoria dengan bangganya mengiklankan armada baru dan berbagai kegiatan pencitraan menerima penghargaan The Best Cabin Crew, The best CEO BUMN, the best ini itu bermimpi terbang tinggi dibawah komando CEO dari Bank Mandiri. Sementara persaingan pasar kian intense dengan adanya terobosan aliansi global network seperti Star Alliance, oleh perusahaan- perusahaan penerbangan full service internasional seperti Qatar, Etihad, Emirates, Eva, etc termasuk Hainan Airlines, pendatang baru yang masuk peringkat 9 perusahaan penerbangan terbaik dunia mengalahkan Garuda diperingkat 10.
Tidak hanya Mantan Menko Maritim & Sumber Daya, Rizal Ramli yang melihat rencana pengadaan armada tambahan dengan dalih pengembangan usaha, tanpa dasar strategi pengembangan usaha yang matang, akan memberatkan beban usaha Garuda, para penasihat internal BUMN dan analis bursa saham pun sempat memprediksi Garuda bakal merugi berat bila biaya operasional membengkak karena tambahan armada. Merekapun wanti- wanti dalam kondisi sekarang yang ruginya demikian besar, ada kemungkinan didelisting bila dalam waktu 6 sampai 9 bulan kedepan Garuda tidak dapat menunjukkan perbaikan kinerjanya.
Isu ketidak efisiensi manajemen juga perlu menjadi perhatian, karena anggota Direksi yang jumlahnya Sembilan orang ini sangat tidak lumrah dibandingkan dengan perusahaan- perusahaan penerbangan internasional pada umumnya, yang rata- rata hanya lima orang namun efektif.
Dimata para pemegang saham Garuda, mereka masih berharap Garuda dapat bangkit seperti kompetitornya. Menurut mereka ada banyak kemiripan dan perbedaan antar SQ dan Garuda, dengan asumsi bahwa keduanya milik BUMN yang sudah go public. SQ berarmada dan mempunyai rute yang lebih besar, dibantu dengan dana oleh lembaga keuangan dan pemerintah Singapura. Garuda, tidaklah demikian halnya, dan tidak sekredible reputasi SQ yang dinakhodai oleh BOD yang handal dan professional. Reputasi Garuda sempat goncang di Bursa Efek Indonesia ketika kasusnya Ex CEO Garuda Emirsyah Satar merebak menjadi tersangka.