Surat itu saya amplopkan. Warna amplop tidak putih polos, tapi amplop khusus yang warnanya merah-pink. Ada gambar jantung ditembus panah di luarnya. Lem tackol tebal & rapat. Setelah itu saya titipkan pada "perantara". Disertai pesan lisan kepadanya, "nanti malam saya traktir makan soto ayam paha & dada". Saya merasa plong. Selesai tahap pertama.
MASA PENANTIAN
Entah bagaimana, setelah tanggal 16 Januari itu, saya merasa berada di masa penantian. Masa adventus. Dalam doa pribadi, saya lebih banyak merefleksi kehidupan saya sendiri, introspeksi, yah, dalam rangka persiapan menyambut "surat balasan dari nona".Â
Dapat laporan dari perantara, bahwa surat sudah diterima sore hari tanggal 17 Januari. Saya merasa bahwa tanggal 17 Januari itu adalah hari mulainya saya berada dalam masa adventus. Penasaran. Rasa pede tinggi. Saya berharap mendapat balasan cepat. Masa adventus yang penuh harap. Membahagiakan. Oii... senang bukan main, walau pada tahap harapan pada masa adventus.
Masuk bulan Februari, tanggal 17. Surat balasan belum juga tiba. Bulan Maret, belum juga. April, Mei, belum juga. Rasa harapan masa adventus saya mulai pudar. Tapi saya tersadarkan oleh isi surat lamaran cinta saya yang sudah dikirim itu, yaitu jatuh temponya 17 Agustus. Â Ah, masih lama koq !Â
Bulan Juni tiba. Belum juga ada balasan. Padahal sering baku ninik (intip, bahasa daerah Manggarai) kalau ikut ibadah misa di gereja. "Rupanya dia malu kena strom panah asmara surat cinta", kata dalam pikiran & hati saya. Yah, tidak apalah. Rasa malu itu saya anggap sebagai bukti bahwa surat itu sudah dibaca, terserap dalam perasaannya. Saya ingat peribahasa, "malu-malu tapi mau, tampak liar tapi sebetulnya kena panah asmara & jatuh cinta". Saya sendiri full perasaan jatuh cinta berjuta rasanya. Cieeh! hu huiii...!
Di lain hari minggu, serasa saya sebagai pengantin pria bersama si nona memasuki gereja, terima sakramen kawin. Busyeeet! Tapi terbantahkan dalam rasaku sendiri juga bahwa bisa saja si nona tolak surat cinta, dan tidak akan ada perkawinan dengannya. Ah, lamunan & imaginasi saya makin gila. Tapi itu tadi, saya disadarkan oleh pikiran saya sendiri itu, yaitu berdasarkan narasi surat lamaran cinta saya sendiri, yaitu adanya kemungkinan lamaran tidak diterima. Ratio saya kembali normal.Â
Hati cinta saya sebagai pengendali inteligensia & imaginasi saya. Emosi terkendali. Untuk itu saya ingat kata mutiara dari William Emedeus Mozart, komponis laku klasik & orchestra kelas dunia abad ke-16, yaitu :" bukan inteligensia & imaginasi yang membuat orang cerdas, tetapi cinta".
Bulan Juli tiba. Belum juga ada balasan. Tapi rasa masa penantian balasan surat cinta dari nona makin membara (adventus). "Ah... tanggal 17 Agustus pasti surat balasan lamaran cinta tiba. Pasti. Yakin !", kata hati saya. Saya merasa sebagai pria sejati, paling ganteng, calon suami yang tepat satu-satunya bagi dia. Minum kopi pagi bersama teman sealamat kost, kadang saya salah angkat gelas, gelas kopi teman sayalah yang saya angkat minum. Cuuukaminyak (Busyeeeet ! Â bahasa daerah Manggarai, Flores). Mandi bisa 3x (tigakali) sehari supaya tidak bau badan. Kondisi psikis jiwa cinta saya sedang menuju puncak. Puncak itu adalah saat nanti saya dapat surat balasan dari nona.
Bulan Agustus. Hari demi hari serasa berada di tangga-tangga menuju puncak & klimax masa penantian. Saat itu suasana kota Denpasar penuh dengan bendera sepanjang jalan. Juga bendera pada tiap kendaraan bermotor, bendera di kantor pemerintah dan swasta, bendera di toko-toko. Itu semua untuk menyambut perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus. Saya tanya ke Manggarai, Flores, ke kampung halaman via telpon kabel di kantor telpon, ternyata sama juga, bendera meriah dimana-mana. Tapi bagi saya, bukan menyambut HUT Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, tapi bendera-bendera itu serasa untuk menyambut kedatangan surat balasan cinta saya. Cuuukanyak ! (busyeeet).
17 AGUSTUS, TANGGAL JATUH TEMPO SURAT CINTA