Terhadap reaksi protektif defensif patrilineal itu, saya memberi tanggapan sebagai berikut: Â
"Pertama, baca cermat postingan itu. Anda tidak menimba apa point yang ditulis. Bengo bangot bapa bengo bangot.Tau renco e tana lerak le bike ga le bapa bengot bangi bongot ( bahasa Manggarai-nya : tuli, tuli dan tuli menutup diri. Tanah hunianmu sudah retak tapi anda tidak melihat bakal ada bencana). Saya menghormati semua orangtua, Om dan Paman saudara ibu kandung saya di situ, termasuk anda di kawasan sana. Ini opini saya, anak saudari perempuanmu Tado. Tapi kau generasi turunan manusia Tado yang bricu bracu bangi bongot (tak punya kepedulian), sembrutal ngotot ngomong dengan keterbatasanmu itu.Â
Kedua, argumentasimu menunjukkan super kesombongan pria Tado dalam sistem patrilineal. Saya lahir dari rahim wanita Tado yang terhormat. Ia perempuan, Saudari kandung pria Tado. Kau pria Tado rasialis menempatkan kaum wanita Tado & anak yang dilahirkan dari rahimnya untuk tidak berhak bersuara untuk kepedulian terhadap Saudara lakinya. Singkatnya, kau menghina wanita Tado-mu yang dari rahimnya telah banyak melahirkan antropos (manusia) di muka bumi. Dengan begitu maka anda adalah manusia generasi muda Tado yang tidak tahu berterimakasih kepada tiap ibu (perempuan) yang melahirkan manusia, termasuk perempuan ibumu. Durhaka kau, karena cara berpikir bricu bracu bapa bengot ! Kalau mau selamat hidupmu di dunia ini, hormati ibu yang melahirkanmu, hormati semua kaum perempuan yang dari rahimnya melahirkan manusia baru di muka bumi ini.Â
Belajarlah Saudaraku. Pendapat /opini harus ditanggap dengan opini dari otak sehat pula. Pembentukan desa dalam konteks pemerintahan desa di republik ini tanpa memandang pria dan wanita. Respond saya ini, catat, bukan karena benci anda atau karena pedih dilahirkan dari wanita Saudarimu, tapi karena saya bahagia dilahirkan dari rahim wanita, wanita Tado yang terhormat. Saudaraku, kita ini sama di hadapan Sang Pencipta, baik pria maupun wanita.
Ada beberapa lagi yang kontra, tapi isinya seputar itu, "anak dari kaum wanita Tado adalah orang luar".
Kesimpulan
Pembentukan desa baru dengan dominan faktor kekerabaran patrilineal, apalagi tidak disertai harapan akan kemajuan dalam konteks pergaulan luas sebangsa, akan memungkinkan peredaman kebangkitan kaum perempuan, Saudari mereka serta anak yang dilahirkan dari rahimnya. Keadaan ini menutup kemungkinan adanya partisipasi 'orang luar' untuk semisal mau berinvestasi di desa. Bahkan Bupati, semisal ia bukan dari kampung itu, sangat sulit untuk menerapkan perubahan. Lebih jauh lagi, tidak ada kemungkinan peluang emansipasi kaum wanita, semisal ada wanitanya punya kemampuan sebagai pemimpin, tapi tidak diakomodir untuk dipilih menjadi Kepala Desa atau Bupati.
Jika desa tadi tetap exist dengan keangkuhan patrilinealnya, maka desa ini akan tetap terdaftar sebagai, maaf, desa bermental kampung, hanya kulitnya saja yang moderen.Â
Kita berharap agar Kepala Desa untuk desa baru ini, entah apalah nama desanya nanti, memiliki wawasan maju sehingga desa baru ini bertumbuh kembang menuju kemajuan yang sama bahkan melebih desa maju lainnya di Mabar, di NTT atau Indonesia. Berharap ada kebangkitan wanita di situ, menjadi Kepala Desa pada suatu saat nanti.
Apakah sistem kekerabatan patrilineal itu hanya ada di Manggarai, NTT, Indonesia umumnya? Oh tidak. Di belahan dunia lainpun ada. Mental patrilineal sempit menghambat kemajuan. Sebagaimana diketahui, selain sistem kekerabatan patrilineal, juga ada parental dan matrilineal. Sama saja,jika tidak dikelola secara positif, sistem kekerabatan ini juga bisa menghambat kemajuan, apalagi era globalisasi pergaulan zaman now.
Salam dari Labuan Bajo.