Mohon tunggu...
Jon Kadis
Jon Kadis Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Hobby baca, tulis opini hukum dan politik, sosial budaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sambutan Resepsi Pernikahan Tentara setelah Natal

26 Desember 2021   16:16 Diperbarui: 27 Desember 2021   18:35 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: mojok.co, desain oleh penulis

Locus di Denpasar, Bali. Tahun 1980an. Tempat pesta waktu itu disebut aula TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat) yang sekarang jadi supermarket Tiara Dewata di tengah kota yang amat populer di pulau Dewata. Saya masih mahasiswa fakultas hukum Universitas Udayana waktu itu. 

Mempelai pria adalah TNI AD asal Manggarai, kae Aleks Ali (kae =kakak, bahasa daerah Manggarai, Flores, NTT). Pengantin putri adalah putri pertama dari seorang TNI AD juga, Bpk.Mardani, purnawirawan, namanya Martina. Bpk. Mardani itu beberapa tahun lalu sudah almarhum. Mempelai itu maupun oangtua (ortu) mereka Katolik. Saya lupa-lupa ingat tanggal bulan hari pernikahan itu. Kayaknya pasca perayaan Natal.

Yang menarik bagi saya saat itu adalah sambutan pernikahan mewakili ortu kedua mempelai, Bpk.Herman M.Tasi, perantau asal Manggarai, guide senior terpandang yang bekerja di Hotel Bali Hayatt di pantai Sanur. Menurut saya, bahasa lisan bliau ini seperti "ilmu bahasa Indonesia hidup". Sempurna. Begitu pula ketika ia berbahasa Inggris, perfect.

Isi sambutannya dalam bahasa Indonesia berjudul "kesetiaan damai cinta suami istri keluarga tentara'. Ia bercerita sebagai berikut:

Sewaktu perang dunia kedua melanda Eropa, para tentara dikirim ke medan perang. Sebagaimana kita ketahui, perang dunia kedua itu mulai tahun 1939 dan berakir tahun 1945.  Bermula sejak kaisar Jerman Adolf Hitler memperluas wilayah kekuasaannya ke Eropa Timur, yang akirnya melibatkan hampir semua negara di dunia. 

Tujuan dasar Hitler adalah pembantaian manusia ras Yahudi demi mempertahan ras Arya di Jerman sebagai "uber alles" ( diatas semua) di Eropa. Bagi bliau, orang Yahudi ini adalah penghalang ambisinya. Tentara dikirim ke negara-negara untuk memburu orang Yahudi. Terjadilah perang antar negara. 

Termasuk seorang ayah, tentara Jerman, yang baru punya 1(anak) putri, usia 2(tahun). Mereka katolik yang taat. Nama istrinya, maaf, kebetulan sama dengan nama mempelai putri di resepsi ini, Martina. Rumah mereka tidak jauh dari terminal kereta api. Deru mesin kereta api bukan hal baru setiap kereta tiba atau berangkat.

Seperti diketahui, janji pernikahan Kristen Katolik itu diyakini terjadi di hadapan Tuhan, pastor, umat. Janji (sumpah) nikah itu, "Aku mencintaimu dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, sampai maut (kematian) memisahkan kita".

Sudah 6(lima) tahun perang berlangsung, dan pada akirnya berakir pada tahun 1945, anak putri keluarga itu sudah berumur 7(tujuh) tahun. Sebagaimana biasa, seorang anak banyak melontarkan pertanyaan kritis tentang kehidupan kepada ibunya. Salah satu pertanyaan itu adalah : dimana ayah, kemana, dan seterusnya. Jawaban ibunya adalah, "ayah sedang berada di medan perang, dia pasti kembali". "Kapan?", tanya anaknya. "Pada waktu yang tidak tentu nak. Kita menunggu saja di rumah. Pasti. Kita berdoa kepada Tuhan Yesus", jawab ibunya dengan penuh cinta. Anaknyapun ikut sikap ibunya itu.

"Bapak Ibu, Sdr/i sekalian. Cerita ini saya baca di buku undercover perang dunia pertama itu", sela sambutan Bpk Herman Tasi. "Sampai di bagian cerita itu saya berpikir bahwa jawaban ibunya adalah sebuah taktik cerdas. 

Cerdas apa? Bisa saja ia mendapat suami tentara yang baru, duda, yang mungkin istrinya meninggal saat ditinggal ke medan perang. Tentara duda itu luput dari peluru musuh. Suaminya sendiri mati, mayatnya disayat musuh. Hilang. Dan bisa saja ketika perang usai, si tentara duda yang masih hidup tadi balik pulang ke rumahnya di Jerman. Nah, kenalan dengan Martina. Kawin. 

Iapun diperkenalkan oleh sang ibu kepada anaknya, "inilah ayahmu. Dan anaknya mulus sukacita menyambut 'ayah'nya. Anaknya dibohongi demi cinta pada anak". Tapi Bapak/Ibu, ketika saya lanjut membaca kisah di buku itu, saya menemukan hal lain, sebagai berikut :

Ibu Martina, istri tentara Matheus Muller itu rajin berdoa, baik pribadi maupun bersama anaknya. Mereka rajin ke Gereja, pergi misa hari Minggu. Termasuk pada hari raya besar, seperti Natal, Paskah  dan seterusnya. Yah, hal itu telah menjadi kerutinan yang membahagiakan. Setiap kali makan di meja bersama anak putrinya, ia selalu ambil satu piring kosong untuk jatah sang ayah yang pergi ke medan perang. 

Dua orang makan di meja, tapi tiga piring tersedia. Selesai makan, piring dikumpulkan untuk dicuci, termasuk piring kosong itu. "Mama, ayah tidak ada, tak usah sediakan piring itu, percuma. Mama gila!", kata putrinya. "Tidak nak, mama tidak gila, mama sayang sama kamu dan ayah. Ayah akan tiba pada waktu yang tidak dijanjikan. 

Bisa saja pagi, malam, siang, sore, atau saat kita sedang makan di meja ini. Makanya piring makan selalu ready", jawab ibunya dengan tenang. "Tapi bisa saja ayah balik berupa jenazah, seperti setiap kereta tiba itu kan mama?", kata anaknya sambil pukul-pukul tembok, ambil piring kosong itu, dilempar ke bebatuan di halaman belakang rumah, praakk, pecah berantakan. Ia menangis marah dalam kehampaan kasih seorang ayah. "Sabar nak, kita berdoa kepada Tuhan", jawab ibunya. Meski begitu, kebiasaan sang ibu selanjutnya tetap saja, piring kosong untuk sang suami selalu ditata di meja setiap kali jam makan. Anggap suaminya turut hadir bersama mereka.

Dalam setahun sebelum perang berakir, kereta yang tiba di terminal kebanyakan memuat jenazah tentara yang gugur di medan perang. Setiap deru mesin kereta tiba, pasti ada jenazah tentaranya, yang diantar sebentar ke rumah istri mereka, lalu dikuburkan di makam para pahlawan. Ibu Martinapun berada di 'kekawatiran, jangan-jangan salah satu jenazah yang tiba adalah suaminya. 

Ia kritis harapan. Ia menangis saat doa pribadi pada jam kerahiman illahi jam 03.00 subuh di rumahnya. Tapi hal kekawatiran itu tidak ia perlihatkan kepada anak putrinya. Ia tetap tenang pada janji pernikahannya.

Perang sudah selesai tahun 1945. Tapi sang ayah tidak nongol-nongol juga. Sebagian tentara yang masih hidup sudah kembali dari medan perang berkata bahwa Matheus tak pernah ditemukan lagi. Besar kemungkinan ia sudah gugur di area musuh. Mendengar hal itu, hati nyonya Tentara, seolah Martina berada di persimpangan, berdiri, menentukan pilihan harus ke arah mana. Ia berdoa mohon Tuhan tunjukkan jalan mana.

Tetapi kebiasaan Ibu Martina tetap sama di rumahnya. Setiap makan selalu sediakan satu piring kosong itu untuk sang suami.  Pada Natal 25 Desember tahun 1948, tiga (3) tahun setelah petang dunia kedua usai, Ibu Martina bersama anak putrinya pergi ikut perayaan misa Natal di Gereja. Anak putrinya sudah berusia 10(sepuluh) tahun. Di saku jacket ditaruhnya secarik kertas. Di situ ia sudah menuliskan sesuatu. 

Setelah misa, mereka pergi ke gua Natal yang sederhana di pojok gedung gereja. Ibu Martina mengambil secarik kertas tadi dari saku jacketnya, dibukanya, lalu dibacanya dengan penuh penghayatan , "Tuhan Yesus, hari Natal ini kami merayakan peringatan kelahiranmu. Engkau sudah datang, dinantikan ratusan tahun. Saya dan putriku menantikan suami & ayah tidak selama waktu ratusan tahun menungguMu seperti tempo dulu itu. Tapi bagi aku pribadi pada tahun ini, aku merasa jutaan tahun menunggu suamiku tentara Matheus. Tuhan Yesus, kasihanilah saya dan anak putri ciptaanMu ini. Engkau dulu menerina janji pernikahan saya dengan suami saya, Matheus Muller, untuk hidup dalam cinta baik dalam suka maupun duka. Saya mohon kepastian, apakah Matheus telah meninggal di medan perang di Polandia, ataukah ia masih hidup di luar sana. Apapun yang terjadi padanya, aku terima. Jika ia sudah meninggal, kirimkan saya penggantinya. Kalau masih hidup, bawa dia ke rumah. Tuhan Yesus, terjadilah kehendakMu padaku, amin." Lalu kertas itu ia bakar di nyala api lilin, dengan imaginasi imannya bahwa doa itu menyatu dalam asap ke surga seperti Abel membakar persembahan kepada Allah dalam kisah Perjanjian Lama. Doa dari hati dan persembahan Abel dikabulkan Bapa di sorga.

Selesai misa Natal, mereka balik ke rumah. Seperti biasa, kebiasaan pada waktu makan selalu ada piring kosong diletakkan di meja.

Seminggu kemudian, pada suatu siang. Salju musim dingin mengitari rumah. Hujan rintik. Putih salju terlihat nempel di dedaunan sekitar rumah mereka. Deru mesin kereta api terdengar dari terminal. Ada penumpang yang tiba dari sebuah perjalanan.

Suasana musim salju, Sumber: detiknews.com
Suasana musim salju, Sumber: detiknews.com

Seorang pria berjacket tebal, pengemis yang miskin, lusuh, berjalan kaki dari terminal kereta. Ia berjalan di antara pepohonan yang daun hijaunya berbintik putih salju di kompleks perumahan tentara. Seperti biasanya di Eropa pada zaman itu, para miskin itu mencari makanan terbuang dari pesta natal dan tahun baru yang mungkin masih bisa dikonsumsi. Penduduk sudah terbiasa dengan kehadiran mereka.

Si pengemis itu mendekati rumah ibu Martina. Tuan rumah tidak tahu kalau dia sudah tak jauh dari rumah. Pengemis itu intip penghuni rumah dari balik pohon. Ia sembunyi di situ. Ia melihat ada seorang ibu dan anak gadis di meja makan. Mereka sedang makan siang. Dari jauh juga ia melihat ada satu piring kosong di meja itu. 

Dalam hatinya berkata, "Dimana suaminya?". Di samping piring kosong terlihat ada semacam dos kado, di atasnya ditancapkan tiang lidi, ada tulisan di kertas putih, "Kado Natal & Tahun baru untuk untuk ayah Matheus Muller". Ibu Martina dan anak putrinya sedang asyik santap siang. 

Selagi mereka asyik santap siang, kemudian terdengar pintu rumah diketok. Mereka takut. "Musim dingin begini, ada kejahatan apa lagi ya?", pikir mereka. Kemudian terdengar ketok lagi. Tidak keras, tapi terasa sopan. Lalu mereka berpikir positif,bahwa mungkin saja pengetok pintu itu adalah si miskin. Dan memang, si miskin tadi ternyata berada di sana. Si Ibu dan anak putrinya siap-siap di balik pintu. Intip di lobang konci. Orang itu berdiri membelakangi pintu. 

"Ah mama, saya bawa kado ini, kasi ke pengemis itu saja", kata anaknya. "Iya, jika ia mau, kita ajak makan bersama di meja makan siang ini ya nak", sahut ibu Martina. Saya bawa piring kosong ini ke teras rumah, sebagai keseriusan mengajaknya makan bersama. 

Mereka sudah siap di balik pintu. Dengan sangat hati-hati mereka membuka pintu. Pria miskin itu berjanggut brewok panjang. Ia balik badan ke arah pintu yang sudah dibuka, lalu, dan.... bagai terompet menggelegar dari surga yang menusuk jiwa cinta, ternyata si 'pengemis' itu adalah Matheus Muller, suami dan ayah si putri. Wouw.... ! Mereka berpelukan, terharu, menangis sukacita, bahagia. Amazing, wonderfull.

Yah, Matheus si tentara yang diutus ke medan perang kini sudah kembali. Piring kosong tidak sia-sia. Doa dan kesetiaan dalam untung dan malang, suka dan duka, tidak sia-sia.

Si suami bercerita saat makan bersama, " ketika perang usai, saya berada di Polandia, Eropa Timur. Sebagian tentara Jerman yang masih hidup pulang ke Jerman. Saya mendapat info dari tentara penjemput bahwa istriku Martina sudah meninggalkan rumah karena menikah lagi dengan pria lain. Sebagian lagi kasi kabar bahwa Martina dan putriku sudah meninggal karena kecelakaan tabrakan. Mendengar itu maka saya ingin hidup di Polandia saja dengan menjadi pengemis. Sedih! Tapi sejak hari Natal minggu lalu timbul kemauan keras saya untuk pulang ke rumah di Jerman. Keinginan itu dahsyat.  Saya naik kereta api. Tiba di terminal, lalu tadi saya melangkah menuju pemakaman umum (kuburan), untuk melihat batu nisan di sana yang bertuliskan Martina dan anak putriku. Saya tidak temukan. Saya berjalan lagi. Mendekati rumah. Eh, rumah ini masih ada. Jendela kecil yg berterali besi di kamar ini makan terbuka. Saya wanti-wanti intip ke arah jendela ini. Betapa kagetnya saya, " istriku Martina istri dan putri saya kelihatan. Kamu masih hidup. Tapi tadi saya pikir, apakah sudah ada pria suami barumu rumah ini? Ah, aku mau ketok pintu saja. Toh kalau kau Martina sudah punya suami lagi, tak mengapa. Biar untuk memastikan saja. Toh saya juga suda jadi pria kumuh & pengemis! Ternyata ..... ! "Tuhan Yesus mengabulkan doa kita", kata Ibu Martina, putri dan Her Matheus Muller bersamaan. "Ich liebe dich papa, aku mencintaimu hingga hanya maut yang memisahkannya. Maut belum merenggutmu, demikian pula aku",  kata Martina bersamaan dengan suami tentaranya, Matheus Muller.

Sampai di situ kisah sambutan resepsi dari Bpk.Herman Tasi. Lalu ditutupnya dengan, "Kesetiaan dalam ikatan cinta suami istri itu adalah wadah bertahtanya kuasa Tuhan. Selamat menjalani hidup baru dengan suasana damai hingga maut kematian memisahkanmu nana TNI AD Aleks Ali dan Tina Mardani". Hadirin serta kami semua bertepuk tangan cukup lama.

Tambahan dari saya
Setelah sambutan itu saya berusaha mencari buku kisah undercover para tentara Eropa dalam perang dunia kedua di hampir semua toko buku di Denpasar. Ketika saat saya bertugas ke Jakarta atau Surabaya, saya cari buku itu di toko buku terlengkap, tapi juga tidak saya temukan. Hingga kini. Apakah kisah itu karangan fiktif seorang pemberi sambutan Bpk Herman Tasi di ruang pesta pengantin tentara? Mungkin saja begitu, tapi bisa juga benar. 

Pikiran saya adalah, bisa saja karena karya sasra tulisan tentang 'keunggulan manusia aryanya Jerman"  juga ikut diberhanguskan oleh penguasa setelah Hitler bertekuk lutut. Terlepas dari pro kontra ifu, bagi saya adalah "ada pesan nilai tinggi dari sebuah kisah kehidupan tentara yang jarang dikenal publik. Dan saya dapatkan nilai itu pada pesta pernikahan tentara.

Untuk kae Aleks Ali & Mba Tina, ini cerita sambutan pernikahan anda. Saya tidak tahu dimana sekarang kae berdua berada. Mungkin saat itu dulu kae berdua kurang mendengar sambutan itu, karena maklum mungkin sedang mabuk 'bulan madu". Saya waktu itu ikut pesta, tapi jadi petugas keluarga untuk menjadi pelayan angkat & cuci piring. Makan daging pesta ukur kuat mati punya. Hehe..! Tapi saya percaya dalam iman bahwa kae berdua hidup bahagia karena Sang Imnanuel itu ada dalam keluargamu. Bpk Herman Tasi terakir berada di Palangkaraya, Kalimantan, tempat asal istrinya dan meninggal di sana. Saya mendengar kabar itu ketika masih berada di Bali.

Bagi saya, itulah salah satu sambutan pernikahan keluarga tentara yang takkan pernah hilang dari memory saya. Meski saya sipil, tapi nilai cerita itu amat bermanfaat bagi kehidupan pribadi saya dan istri sekeluarga. Bagi anda pembaca? Semoga sama.

Labuan Bajo, 26 Desember 2021. 

* Selamat Natal 2021 dan tahun baru 2022. Damai untuk kita semua yang berada di bawah kolong langit yang sama, kebersamaan apapun agama dan rasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun