Seminggu kemudian, pada suatu siang. Salju musim dingin mengitari rumah. Hujan rintik. Putih salju terlihat nempel di dedaunan sekitar rumah mereka. Deru mesin kereta api terdengar dari terminal. Ada penumpang yang tiba dari sebuah perjalanan.
Seorang pria berjacket tebal, pengemis yang miskin, lusuh, berjalan kaki dari terminal kereta. Ia berjalan di antara pepohonan yang daun hijaunya berbintik putih salju di kompleks perumahan tentara. Seperti biasanya di Eropa pada zaman itu, para miskin itu mencari makanan terbuang dari pesta natal dan tahun baru yang mungkin masih bisa dikonsumsi. Penduduk sudah terbiasa dengan kehadiran mereka.
Si pengemis itu mendekati rumah ibu Martina. Tuan rumah tidak tahu kalau dia sudah tak jauh dari rumah. Pengemis itu intip penghuni rumah dari balik pohon. Ia sembunyi di situ. Ia melihat ada seorang ibu dan anak gadis di meja makan. Mereka sedang makan siang. Dari jauh juga ia melihat ada satu piring kosong di meja itu.Â
Dalam hatinya berkata, "Dimana suaminya?". Di samping piring kosong terlihat ada semacam dos kado, di atasnya ditancapkan tiang lidi, ada tulisan di kertas putih, "Kado Natal & Tahun baru untuk untuk ayah Matheus Muller". Ibu Martina dan anak putrinya sedang asyik santap siang.Â
Selagi mereka asyik santap siang, kemudian terdengar pintu rumah diketok. Mereka takut. "Musim dingin begini, ada kejahatan apa lagi ya?", pikir mereka. Kemudian terdengar ketok lagi. Tidak keras, tapi terasa sopan. Lalu mereka berpikir positif,bahwa mungkin saja pengetok pintu itu adalah si miskin. Dan memang, si miskin tadi ternyata berada di sana. Si Ibu dan anak putrinya siap-siap di balik pintu. Intip di lobang konci. Orang itu berdiri membelakangi pintu.Â
"Ah mama, saya bawa kado ini, kasi ke pengemis itu saja", kata anaknya. "Iya, jika ia mau, kita ajak makan bersama di meja makan siang ini ya nak", sahut ibu Martina. Saya bawa piring kosong ini ke teras rumah, sebagai keseriusan mengajaknya makan bersama.Â
Mereka sudah siap di balik pintu. Dengan sangat hati-hati mereka membuka pintu. Pria miskin itu berjanggut brewok panjang. Ia balik badan ke arah pintu yang sudah dibuka, lalu, dan.... bagai terompet menggelegar dari surga yang menusuk jiwa cinta, ternyata si 'pengemis' itu adalah Matheus Muller, suami dan ayah si putri. Wouw.... ! Mereka berpelukan, terharu, menangis sukacita, bahagia. Amazing, wonderfull.
Yah, Matheus si tentara yang diutus ke medan perang kini sudah kembali. Piring kosong tidak sia-sia. Doa dan kesetiaan dalam untung dan malang, suka dan duka, tidak sia-sia.
Si suami bercerita saat makan bersama, " ketika perang usai, saya berada di Polandia, Eropa Timur. Sebagian tentara Jerman yang masih hidup pulang ke Jerman. Saya mendapat info dari tentara penjemput bahwa istriku Martina sudah meninggalkan rumah karena menikah lagi dengan pria lain. Sebagian lagi kasi kabar bahwa Martina dan putriku sudah meninggal karena kecelakaan tabrakan. Mendengar itu maka saya ingin hidup di Polandia saja dengan menjadi pengemis. Sedih! Tapi sejak hari Natal minggu lalu timbul kemauan keras saya untuk pulang ke rumah di Jerman. Keinginan itu dahsyat. Â Saya naik kereta api. Tiba di terminal, lalu tadi saya melangkah menuju pemakaman umum (kuburan), untuk melihat batu nisan di sana yang bertuliskan Martina dan anak putriku. Saya tidak temukan. Saya berjalan lagi. Mendekati rumah. Eh, rumah ini masih ada. Jendela kecil yg berterali besi di kamar ini makan terbuka. Saya wanti-wanti intip ke arah jendela ini. Betapa kagetnya saya, " istriku Martina istri dan putri saya kelihatan. Kamu masih hidup. Tapi tadi saya pikir, apakah sudah ada pria suami barumu rumah ini? Ah, aku mau ketok pintu saja. Toh kalau kau Martina sudah punya suami lagi, tak mengapa. Biar untuk memastikan saja. Toh saya juga suda jadi pria kumuh & pengemis! Ternyata ..... ! "Tuhan Yesus mengabulkan doa kita", kata Ibu Martina, putri dan Her Matheus Muller bersamaan. "Ich liebe dich papa, aku mencintaimu hingga hanya maut yang memisahkannya. Maut belum merenggutmu, demikian pula aku", Â kata Martina bersamaan dengan suami tentaranya, Matheus Muller.
Sampai di situ kisah sambutan resepsi dari Bpk.Herman Tasi. Lalu ditutupnya dengan, "Kesetiaan dalam ikatan cinta suami istri itu adalah wadah bertahtanya kuasa Tuhan. Selamat menjalani hidup baru dengan suasana damai hingga maut kematian memisahkanmu nana TNI AD Aleks Ali dan Tina Mardani". Hadirin serta kami semua bertepuk tangan cukup lama.