Cerdas apa? Bisa saja ia mendapat suami tentara yang baru, duda, yang mungkin istrinya meninggal saat ditinggal ke medan perang. Tentara duda itu luput dari peluru musuh. Suaminya sendiri mati, mayatnya disayat musuh. Hilang. Dan bisa saja ketika perang usai, si tentara duda yang masih hidup tadi balik pulang ke rumahnya di Jerman. Nah, kenalan dengan Martina. Kawin.Â
Iapun diperkenalkan oleh sang ibu kepada anaknya, "inilah ayahmu. Dan anaknya mulus sukacita menyambut 'ayah'nya. Anaknya dibohongi demi cinta pada anak". Tapi Bapak/Ibu, ketika saya lanjut membaca kisah di buku itu, saya menemukan hal lain, sebagai berikut :
Ibu Martina, istri tentara Matheus Muller itu rajin berdoa, baik pribadi maupun bersama anaknya. Mereka rajin ke Gereja, pergi misa hari Minggu. Termasuk pada hari raya besar, seperti Natal, Paskah  dan seterusnya. Yah, hal itu telah menjadi kerutinan yang membahagiakan. Setiap kali makan di meja bersama anak putrinya, ia selalu ambil satu piring kosong untuk jatah sang ayah yang pergi ke medan perang.Â
Dua orang makan di meja, tapi tiga piring tersedia. Selesai makan, piring dikumpulkan untuk dicuci, termasuk piring kosong itu. "Mama, ayah tidak ada, tak usah sediakan piring itu, percuma. Mama gila!", kata putrinya. "Tidak nak, mama tidak gila, mama sayang sama kamu dan ayah. Ayah akan tiba pada waktu yang tidak dijanjikan.Â
Bisa saja pagi, malam, siang, sore, atau saat kita sedang makan di meja ini. Makanya piring makan selalu ready", jawab ibunya dengan tenang. "Tapi bisa saja ayah balik berupa jenazah, seperti setiap kereta tiba itu kan mama?", kata anaknya sambil pukul-pukul tembok, ambil piring kosong itu, dilempar ke bebatuan di halaman belakang rumah, praakk, pecah berantakan. Ia menangis marah dalam kehampaan kasih seorang ayah. "Sabar nak, kita berdoa kepada Tuhan", jawab ibunya. Meski begitu, kebiasaan sang ibu selanjutnya tetap saja, piring kosong untuk sang suami selalu ditata di meja setiap kali jam makan. Anggap suaminya turut hadir bersama mereka.
Dalam setahun sebelum perang berakir, kereta yang tiba di terminal kebanyakan memuat jenazah tentara yang gugur di medan perang. Setiap deru mesin kereta tiba, pasti ada jenazah tentaranya, yang diantar sebentar ke rumah istri mereka, lalu dikuburkan di makam para pahlawan. Ibu Martinapun berada di 'kekawatiran, jangan-jangan salah satu jenazah yang tiba adalah suaminya.Â
Ia kritis harapan. Ia menangis saat doa pribadi pada jam kerahiman illahi jam 03.00 subuh di rumahnya. Tapi hal kekawatiran itu tidak ia perlihatkan kepada anak putrinya. Ia tetap tenang pada janji pernikahannya.
Perang sudah selesai tahun 1945. Tapi sang ayah tidak nongol-nongol juga. Sebagian tentara yang masih hidup sudah kembali dari medan perang berkata bahwa Matheus tak pernah ditemukan lagi. Besar kemungkinan ia sudah gugur di area musuh. Mendengar hal itu, hati nyonya Tentara, seolah Martina berada di persimpangan, berdiri, menentukan pilihan harus ke arah mana. Ia berdoa mohon Tuhan tunjukkan jalan mana.
Tetapi kebiasaan Ibu Martina tetap sama di rumahnya. Setiap makan selalu sediakan satu piring kosong itu untuk sang suami. Â Pada Natal 25 Desember tahun 1948, tiga (3) tahun setelah petang dunia kedua usai, Ibu Martina bersama anak putrinya pergi ikut perayaan misa Natal di Gereja. Anak putrinya sudah berusia 10(sepuluh) tahun. Di saku jacket ditaruhnya secarik kertas. Di situ ia sudah menuliskan sesuatu.Â
Setelah misa, mereka pergi ke gua Natal yang sederhana di pojok gedung gereja. Ibu Martina mengambil secarik kertas tadi dari saku jacketnya, dibukanya, lalu dibacanya dengan penuh penghayatan , "Tuhan Yesus, hari Natal ini kami merayakan peringatan kelahiranmu. Engkau sudah datang, dinantikan ratusan tahun. Saya dan putriku menantikan suami & ayah tidak selama waktu ratusan tahun menungguMu seperti tempo dulu itu. Tapi bagi aku pribadi pada tahun ini, aku merasa jutaan tahun menunggu suamiku tentara Matheus. Tuhan Yesus, kasihanilah saya dan anak putri ciptaanMu ini. Engkau dulu menerina janji pernikahan saya dengan suami saya, Matheus Muller, untuk hidup dalam cinta baik dalam suka maupun duka. Saya mohon kepastian, apakah Matheus telah meninggal di medan perang di Polandia, ataukah ia masih hidup di luar sana. Apapun yang terjadi padanya, aku terima. Jika ia sudah meninggal, kirimkan saya penggantinya. Kalau masih hidup, bawa dia ke rumah. Tuhan Yesus, terjadilah kehendakMu padaku, amin." Lalu kertas itu ia bakar di nyala api lilin, dengan imaginasi imannya bahwa doa itu menyatu dalam asap ke surga seperti Abel membakar persembahan kepada Allah dalam kisah Perjanjian Lama. Doa dari hati dan persembahan Abel dikabulkan Bapa di sorga.
Selesai misa Natal, mereka balik ke rumah. Seperti biasa, kebiasaan pada waktu makan selalu ada piring kosong diletakkan di meja.