Meski hari-hari Sukarli bergelut dengan sampah, dia tidak pernah mengeluh atas hidup yang dia dijalani. Ia selalu menjalankan pekerjaan sebagai memulung dengan iklas meskipun kebanyakan orang memandang profesi itu sangat rendah.
Untuknya, apapun pekerjaan harus digeluti dengan tekun. Meski tidak banyak orang yang siap mental menjalani pekerjaan yang setiap harinya bergelut dengan kotoran. Kata dia, alasan menjadi pemulung sangat sederhana, hanya demi bertahan hidup.
Dari penjualan botol-botol bekas itu dia membeli beras, lauk dan kebutuhan lainnya. Katanya, dia tidak mungkin berharap pada saudara dan keluarga, pasalnya adik tempatnya tinggal saat ini hanya bekerja sebagai buruh. Sedangkan keluarganya, juga bukan orang berada.
Tidak Tersentuh Bantuan
Kendati dikenal sebagai warga miskin namun Sukarli tidak pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah, baik pusat, daerah maupun pemerintah desa tempat tinggalnya. "Pasrah aja, namanya juga bantuan," kata dia, dengan suara sedikit parau.
Dia berharap, pemerintah bisa mendata dirinya sebagai salah penerima bantuan sosial yang dikucurkan selama ini. Namun jika tidak, ia pun tidak berkecil hati, karena menurutnya, usaha lebih terhormat dari pada bergantung dengan bantuan yang tak akan pernah cukup.
"Meski penghasilan hanya berkisar Rp40 ribu sehari, tapi nikmat. Dari pada berharap bantuan yang tak pasti. Mau sih diperhatikan, tapi tidak begitu optimis. Usaha aja, meski penghasilan kecil, mungkin lebih terhormat," keluh pria asli Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur itu.
Matanya sembab. Tetesan butiran peluh lelaki itu tampak menutupi kelopak matanya. Baju kemeja lusuhnya pun lembab. Sesekali ia beranjak menyibak botol bekas tak jauh dari tempat rehatnya. "Lumayan, syukuri aja," tuturnya seraya tertawa.
Stigma Negatif
Sudah jatuh tertimpa tangga! Stigma negatif bertubi-tubi diterima Sukarli. Selain lajang diusia senja, pekerjaan dianggap rendah, ia juga kerap mendapat perlakuan kurang sedap. Pria yang sehari-hari mengayuh sepeda mencari barang bekas itu, disebut kurang normal.
"Saya kerap mendapat hujatan kurang sedap. Menurut mereka, saya kurang normal. Namun saya ogah menanggapi stigma negatif itu, meski menyakitkan," cetus Sukardi.