Mohon tunggu...
Joni Faisal
Joni Faisal Mohon Tunggu... -

bekerja serabutan, mencari kawan dengan berbagi cerita lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjadi Ayah di hari Minggu (3)

20 November 2011   23:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:25 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naik Ojek Berhadiah Jeruk

Saya perkenalkan ojek langganan saya!

Namanya Sulis. Umurnya sekitar 40 tahunan. Kurus. Semampai. Berambut agak cepak. Bicara lembut dan hampir tak terdengar. Jika diajak bicara minggu ini, dia akan lupa pembicaraan minggu lalu. Jadi, bicaralah apa saja padanya tentang rahasiamu, kelak dia tidak ingat apa-apa yang pernah kau ceritakan. Itulah impresiku pertama tentang Sulis. Ia berasal dari sebuah dusun di Sewon, Bantul yang berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat Kota Jogja ke Selatan. Sebuah desa yang dua puluh tahunan lalu menjadi sentra beras bagi masayarakat Jogja. Saya mengetahui jaraknya karena kampus saya dulu, ISI- Institut Seni Indoinesia Jogjakarta berada tidak jauh dari kampungnya.

Karena kereta tiba di Jogja terlalu pagi, saya seringkali menggunakan jasa ojek. Sulis ini salah satu langganan saya. Saya katakan salah satu, karena jika Sulis tidak ada saya akan panggil ojek berikutnya: Jaini, Juli, atau Mas Kerto. Urutan itu jelas sebagai perioritas mana yang duluan saya panggil. Jika tidak ada Sulis, saya akan panggil Jaini, kemudian jika Jaini pun tak ada saya akan panggil nama Mas Kerto dan seterusnya.

Pertama kali saya naik ojek Sulis, ia bertanya kapan saya pulang? Dalam hati saya gendhek, belum juga nyampe udah nanya pulang. Namun pertanyaannya saya jawab sekenanya. Sebab saya sendiri tidak tahu kapan saya pulang. Entah besok, lusa atau tiga hari lagi. Meskipun biasanya saya hanya semalam saja di Jogja.

Namun pertanyaannya yang sama itu belakangan sering tidak saya jawab. Kadang saya jawab, ”nggak tau mas” atau “saya nanti diantar oleh pak De anak saya” atau lebih ekstrim “saya pulang bareng sama temen naik mobilnya”. Buat saya, saya tidak mau direpoti oleh Sulis yang akan menjemput saya sewaktu mau ke stasiun pulang  balik ke Jakarta.

Tapi jawaban-jawaban saya itu tidak ada gunanya bagi Sulis. Tetap saja—tiap saya memakai jasanya--dia akan mendesak dengan pertanyaan kapan saya pulang.

Di suatu hari, sewaktu saya masih belum tahu maksud Sulis, saya mengatakan akan pulang petang besok naik Kereta Senja. Sulis mengangguk. Saya tambahkan kata-kata yang lebih tegas, “tidak usah dijemput, Mas! Saya besok ke stasiun akan diantar oleh Pak De." Sulis hanya mengangguk dengan senyum tanpa mengeluarkan sehuruf pun dari mulutnya. Namun tanpa saya duga besok harinya, ketika saya siap pulang ke Jakarta, tiba-tiba Sulis muncul di depan rumah mertua. Saya hanya mampu manarik nafas dalam-dalam karena saya tak mungkin bisa membayarnya walau hanya sepuluh atau lima belas ribu. Lagi pula, saya sudah sms Pak De anak saya untuk minta diantar ke stasiun.

Rupanya Sulis datang bukan untuk menjemput saya. Dia membawa sekantong plastik jeruk yang menggantung di motornya. Sambil tersenyum dalam hati saya mengutuk diri sendiri, betapa kotor prasangka saya.  Jeruk yang kira-kira berisi dua kilogram itu diberikannya kepada saya dengan penuh keikhlasan. “Ini oleh-oleh, Mas Joni,”

“Dari mana jeruk ini?” tanya saya penasaran.

“Dari kebun, Mas.” jawab Sulis sekenanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun